Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laksma TNI (Purn) Bambang Udoyo saat ini sudah didampingi oleh tim bantuan hukum dari Dinas Hukum TNI Angkatan Laut.
Diketahui Bambang Udoyo kini ditetapkan kembali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (Backbone Coastall surveillance system/BCSS) Bakamla RI tahun anggaran 2016.
Dirbingakkum Puspom AL Kolonel Laut (PM) Totok Safariyanto mengatakan pendampingan hukum diberikan kepada Bambang Udoyo sesuai dengan Petunjuk Teknis tentang Bantuan Hukum Pidana yang diatur dalam Keputusan Panglima TNI nomor Kep/1447/XII/2018.
Baca: Kisah Penyelamatan 12 Gadis Asal Bandung Hendak Dijadikan PSK di Situbondo
Baca: Mau Tahu Bagaimana Cara Buat MSG? Ke Karawang Saja!
Baca: Putusan MA Terkait Kasasi Arsyad Temenggung Tak Surutkan KPK Kembalikan Uang Negara Rp 4,58 Triliun
Baca: Profil Lengkap Dimas Anggara, Simak Perjalanan Karier dan Kisah Asmara dengan Nadine Chandrawinata
"(Sudah ada) Pendampingan dari Dinas Hukum dari mulai penyidikan sampai dengan sidang di pengadilan (militer)," kata Totok di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Sebelumnya Totok menjelaskan, meski Bambang sudah berstatus purnawirawan, tetapi pihaknya masih berwenang menangani perkaranya.
"Karena diatur dalam pasal 9 UU nomor 31/1997 tentang peradilan militer. Bahwa seorang prajurit TNI yang aktif pada saat melakukan kejahatan, kemudian proses penyelidikannya dilakukan oleh Polisi Militer dan dilimpahkan ke Pengadilan Militer walaupun statusnya sudah pensiun. Ini dasar hukumnya," kata Totok.
Totok menjelaskan, dalam penyelidikan kasus tersebut pihaknya juga telah memeriksa sejumlah saksi dan mengantongi barang bukti.
"Kemudian kami melakukan penyelidikan ini juga tidak didasarkan semata-mata dari keterangan para saksi. Kami juga memiliki barang bukti yang sudah kami kantongi sehingga kami meyakini bahwa telah terjadi suatu tindak pidana," kata Totok.
Terkait dengan penyidikan perkara, Totok menjelaskan jika surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap perkara tersebut sudah dikeluarkan sejak 14 Mei 2019.
"Surat perintah penyidikan yang dibuat oleh Polisi Militer itu tanggalnya dibuat sama dengan KPK. Jadi kalau KPK hari ini ya kita juga hari ini. Kalau dari kami Surat Perintah Penyidikan Komandan Puspom AL nomor Sprin 223/V/2019 tanggal 14 Mei 2019 tentang perkara dugaan tindak pidana korupsi," kata Totok.
Ia menegaskan, terkait penanganan perkara tersebut pihaknya selalu bersama-sama dengan penyidik KPK agar pemeriksaan dapat berjalan dengan cepat.
"Penyidik kami selalu bersama-sama antara penyidik KPK dan penyidik kami, sehingga pemeriksaan itu berjalan dengan cepat. Kami juga tidak boleh berlama-lama menyelesaikan persoalan ini," kata Totok.
4 tersangka baru
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Unit Layanan Pengadaan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Leni Marlena dan Anggota Unit Layanan Pengadaan Bakamla RI Juli Amar Ma'ruf, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (Backbone Coastall surveillance system/BCSS) Bakamla RI tahun anggaran 2016.
Selain keduanya, KPK juga menetapkan Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi dan Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bakamla RI sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan BCSS di Bakamla RI.
Baca: Sebuah Mobil Masuk Tengah Kuburan, Pengendara Linglung Dipikir Sudah di Rumah
Baca: Ternyata Orang Dekat, Pelaku Pembacokan Pasangan Selingkuh Tertangkap di Surabaya
Bambang Udoyo sendiri sudah divonis hukuman penjara 4 tahun 6 bulan di Pengadilan Tinggi Militer Jakarta, karena terbukti bersalah dalam kasus suap dalam Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla.
Perbuatan Bambang, Leni, Jamal, dan Rahardjo diduga menguntungkan diri sendiri dan atau pihak lain dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 54 miliar.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjabarkan kasus ini merupakan pengembangan perkara kasus Suap Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla Tahun Anggaran 2016. Pengembangan ini juga sebelumnya membawa PT Merial Esa sebagai tersangka korporasi.
Alex mengatakan, kasus korupsi pengadaan BCSS bermula Pada tanggal 15 April 2016, Bambang Udoyo selaku Direktur Data Informasi diangkat menjadi PPK Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi, Hukum, dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut.
Selang beberapa bulan kemudian pada 16 Juni 2016 Leni dan Jamal diangkat sebagai Ketua dan Anggota Unit Layanan Pengadaan di Lingkungan Bakamla Tahun Anggaran 2016.
"Pada Tahun Anggaran 2016 terdapat usulan anggaran untuk pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BESS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) sebesar Rp 400 miliar yang bersumber pada APBN-P 2016 di Bakamla RI," ujar Alex saat konferensi pers penetapan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Pada awalnya, kata Alex, anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS belum dapat digunakan. Kendati demikian ULP Bakamla RI tetap memulai proses lelang tanpa menunggu persetujuan anggaran dari Kementerian Keuangan.
Alex melanjutkan, pada 16 Agustus 2016, ULP Bakamla mengumumkan Lelang Pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS dengan pagu anggaran sebesar Rp 400 miliar dan nilai total Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 399,8 miliar. Persis sebulan kemudian, PT CMIT ditetapkan selaku pemenang dalam pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS.
Pada Oktober 2016 terjadi pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan. Meskipun anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.
Mereka malah melakukan negosiasi dalam bentuk Design Review Meeting (DRM) antara Pihak Bakamla dan PT CMIT terkait dengan pemotongan anggaran untuk pengadaan tersebut
"Negosiasi yang dilakukan adalah negosiasi biaya untuk menyesuaikan antara nilai pengadaan dengan nilai anggaran yang disetujui/ditetapkan oleh Kementerian Keuangan serta negosiasi waktu pelaksanaan," jelas Alex.
Negosiasi itu menghasilkan harga pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS menjadi sebesar Rp 170,57 miliar. Waktu pelaksanaannya pun dipotong dari dari 80 hari kalender menjadi 75 hari kalender.
"Pada tanggal 18 Oktober 2016, kontrak pengadaan ditandatangani BU (Bambang Udoyo) selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Rahardjo Praselaku Direktur Utama PT CMIT dengan nilai kontrak Rp 170,57 miliar termasuk PPN. Kontrak tersebut anggarannya bersumber dari APBN-P TA 2016 dan berbentuk lump sum (pembayaran yang dilakukan sekaligus dalam satu waktu)," ujarnya.
Atas perbuatannya, Leni Marlena dan Juli Amar Ma'ruf disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Mereka diduga secara bersama-sama dengan Bambang Udoyo melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adapun Bambang dalam kasus ini ditangani oleh Polisi Militer Angkat Laut dikarenakan pada saat menjabat selaku PPK yang bersangkutan adalah anggota TNI AL.
Sementara itu, Rahardjo Pratjihno disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.