Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rektor asing bukan solusi untuk memacu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia masuk dalam 100 universitas terbaik di dunia.
Demikian disampaikan mantan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Edy Suandi Hamid kepada Tribunnews.com, Kamis (1/8/2019).
"Target mendatangkan rektor asing apa? Untuk masuk target 100 dunia? Kalau itu maka kita lihat mau masuk 100 dunia itu apa? Nah dari situ bisa kita lihat kualifikasi rektornya," ujar Rektor dan Guru Besar Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) ini.
Dia mencontohkan, kalau untuk masuk dalam top 100 dunia, kriterinya adalah banyak publikasi internasional dan inovasi dari kampus.
Baca: Polisi Ungkap Peredaran Narkoba yang Dikendalikan dari Lapas Jelekong
Baca: Kasus Cinta Terlarang Kakak Adik di Luwu, Polisi Duga Ada Kuburan Bayi Hasil Hubungan di Dapur
Baca: Adu Gagasan untuk Kemajuan Alumni dan Almamater Universitas Indonesia di Debat Pertama
Maka untuk mencapainya, imbuh dia, yang dilakukan adalah mencari ilmuwan yang bisa menstimulus hal itu.
Ilmuan itu bisa diambil dari luar negeri dan diakui kehebatan di bidangnya.
Selain itu bisa juga dengan memberikan jabatan sebagai ketua litbang penelitian dan publikasi ilmiah.
Karena itu solusinya bukan mendatangkan rektor dari luar negeri.
Tapi mengangkat ahli yang kompeten di bidang pencapaian top 100 dunia.
"Jadi pakai spesialis yang menyesuaikan dengan kriteria untuk mencapai prestasi terbaik di dunia. Artinya tak harus sebagai rektor tapi spesialis yang sesuai saja," kata Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Menurut dia, rektor tugasnya mengurusi mahasiswa, dana, pengabdian masyarakat, dan lainnya.
Selain itu dia melanjutkan, penunjukkan terhadap seseorang menjadi rektor PTN atau perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya berdasarkan kompetensi saja, tapi juga harus memahami kultur lokal.
"Nah ini tak mudah dipenuhi rektor asing. Butuh pemahaman budaya. Jadi rektor asing bukan solusi untuk memacu Perguruan Tinggi kita," ujar pemerharti pendidikan ini.
Baca: Gubernur Kaltim Isran Noor Minta Kaltim Jangan Diadu dengan Kalteng
Karenanya, baiknya Indonesia berhati-hati karena banyak pertimbangan yang harus dilakukan terkait perekrutan rektor asing.
Sebenarnya, kata dia, di Indonesia ada banyak kader atau anak bangsa sendiri mumpuni menjadi rektor.
Hanya saja, saat ini memang banyak keluhan soal rektor yang tidak mumpuni.
Itu terjadi menurut dia, karena perekrutan rektor yang tidak baik, sehingga yang terpilih bukan yang terbaik.
"Yang perlu dibenahi pola rekrutmennya. Karena itu yang perlu dikaji proses pemilihan rektor di PTN yang peran pemerintah sangat dominan. Itu bisa mengalahkan peran senat akademik," jelasnya.
Karena itu, dia menilai sebaiknya pemilihan rektor diserahkan kepada lembaga senat universitas.
Sebab, lembaga senat pemerintah adalah pihak yang paling mengetahui kondisi orang-orang yang ada di perguruan tinggi.
Selain juga pemerintah pusat seharusnya hanya membuat peraturan dan mengawasi.
Saat ini pemilihan rektor menurut dia terlalu banyak dicampuri pemerintah pusat.
"Jakarta mana tahu kondisi lokal di Aceh sana misalnya. Paling dengar omongan orang-orang. Tapi kalau orangnya punya kepentingan kan informasinya bisa sesat," jelasnya.
Wacana Menristekdikti
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir akan melakukan pemilihan secara khusus dalam mencari rektor luar negeri untuk memimpin Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Menurutnya, saat ini tim Kemenristekdikti saat ini sedang membahas kriteria apa yang diperlukan dari pemerintah, agar PTN yang dipimpin rektor asal luar negeri mampu mencapai 100 besar dunia.
“Saya sudah laporkan kepada Bapak Presiden dalam hal ini wacana untuk merekrut rektor asing ini, yang punya reputasi. Kalau yang tidak punya reputasi, jangan. Tidak mesti orang asing itu baik, belum tentu. Nanti kita cari,” kata Nasir yang dikutip dalam laman seskab.go.id, Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Ia menjelaskan, praktik rektor asing memimpin perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi publik di suatu negara lumrah dilakukan di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa, bahkan Singapura juga melakukan hal yang sama.
Baca: Pansel KPK: Isu Pelaporan LHKPN Diembuskan Pihak Tertentu
Nasir pun mencontohkan, Nanyang Technological University (NTU) yang baru didirikan pada 1981, namun saat ini sudah masuk 50 besar dunia dalam waktu 38 tahun.
“NTU itu berdiri tahun 1981. Mereka di dalam pengembangan ternyata mereka mengundang rektor dari Amerika dan dosen-dosen beberapa besar. Mereka dari berdiri belum dikenal, sekarang bisa masuk 50 besar dunia,” papar Nasir.
Menurutnya, dengan merekrut rektor luar negeri dan dosen luar negeri, diharapkan ranking perguruan tinggi Indonesia dapat meningkat serta berkualitas dunia.
Dirinya melihat banyaknya masyarakat Indonesia yang harus pergi ke luar negeri untuk bersekolah, termasuk NTU agar mendapatkan pendidikan tinggi terbaik.
“Karena rektor asing dan kolaborasinya yang ada di Singapura, (NTU) bisa mendatangkan mahasiswa dari Amerika, Eropa, bahkan Indonesia ke sana,” ungkap Nasir.
Salah satu aspek yang sering dibahas saat mengundang rektor luar negeri, kata Nasir, adalah gaji rektor asing tersebut yang diperkirakan akan memberatkan anggaran PTN yang dipimpinnya.
Baca: Tahun Depan Pemerintah Ajak Rektor Luar Negeri Pimpin PTN
“Saya harus bicara dengan Menteri Keuangan juga, bagaimana kalau rektor dari luar negeri, kita datangkan ke Indonesia. Berapa gaji yang harus dia terima? Berapa komparasi negara-negara lain? Bagaimana bisa dilakukan, tetapi tidak mengganggu stabilitas keuangan di perguruan tinggi,” paparnya.
Diketahui, pemerintah menargetkan pada 2020 sudah ada perguruan tinggi yang dipimpin rektor terbaik dari luar negeri dan pada 2024 jumlahnya ditargetkan meningkat menjadi lima PTN.