TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bupati Nduga Yairus Gwijangge meminta bantuan Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk menyampaikan keinginannya kepada Presiden Joko Widodo agar TNI-Polri menarik personelnya dari Nduga, Papua.
Diketahui, personel TNI-Polri menggelar operasi militer di Papua sejak awal Desember 2018 silam.
Menanggapi hal itu, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya bersama TNI tetap akan melakukan pengamanan di Nduga.
"Polri bersama TNI akan tetap melakukan pengamanan, pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat di Nduga," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019).
Baca: Harga Emas Antam Melonjak Rp 15.000 Jadi Rp 739.000 Per Gram
Baca: PBNU Jatim: Dokter Terawan Dampingi Mbah Moen di RS
Baca: Mahfud MD: Terakhir Kali, Mbah Moen Cengkeram Kuat Lengan Saya Lalu Berbisik Hal Serius
Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu juga menegaskan Korps Bhayangkara akan melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
"Polri juga akan tetap melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu kepada siapapun," ungkapnya.
Sebelumnya, Bupati Nduga Yairus Gwijangge meminta TNI-Polri menarik personelnya dari Nduga.
Ia menyampaikan permintaan tersebut saat bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/8/2019).
"Kami dengan harapan penuh, meminta kepada Bapak Presiden melalui Ketua DPR, bahwa penarikan anggota TNI-Polri itu tidak jadi masalah," ujar Yairus.
Menurut Yairus, keberadaan personel TNI/Polri di wilayahnya membuat hidup masyarakat tidak tenang.
Bahkan, masyarakat terpaksa mengungsi ke saudara dan kerabat di kabupaten sehingga sekitar 11 distrik di Nduga kosong.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga Namia Gwijangge menyampaikan, masyarakat Nduga memang memiliki trauma terhadap keberadaan militer di wilayahnya sejak peristiwa Mapenduma tahun 1996.
Menurut Namia, konflik berkepanjangan antara pihak TNI/Polri dan kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) telah memberikan dampak negatif bagi masyarakat, terutama dalam mengakses hak atas pendidikan dan kesehatan.
Kegiatan belajar-mengajar 24 sekolah di 11 distrik saat itu tidak berjalan. Puskesmas dan posyandu juga tak berfungsi seperti semestinya.