TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdana gugatan perdata Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen terhadap Mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur hari ini, Kamis (15/8/2019).
Sidang yang dimulai sekira pukul 10.00 WIB meski dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB tersebut dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis Antonius Simbolon, serta Hakim Anggota Nun Suhaini dan Dwi Dayanto.
Setelah sebelumnya suasana tegang tampak berlangsung di ruang sidang karena kuasa hukum kedua pihak sempat beradu mulut di depan meja majelis hakim.
Itu terjadi saat kedua pihak saling memeriksa berkas kelengkapan beracara masing-masing, kuasa hukum Wiranto, Adi Warman menyampaikan keberatannya terhadap surat kuasa Tonin yang mewakili pihak penggugat.
"Yang Mulia, mohon izin. Dalam surat kuasa penggugat itu substansinya tidak untuk menghadiri persidangan, Yang Mulia. Bisa dibaca poin-poinnya, Yang Mulia. Surat kuasa itu dibuat untuk misalkan mendaftarkan memori. Menghadiri persidangan dan lainnya tidak tertulis di situ, Yang Mulia," kata Adi.
Baca: Sidang Sempat Memanas, Kuasa Hukum Kivlan Zen dan Wiranto Adu Mulut di Depan Hakim
Baca: Wiranto Tanggapi Gugurnya Briptu Heidar: Sudah Jadi Risiko Militer, Operasi Pengamanan Tetap Jalan
Selain itu, kuasa hukum Wiranto juga menyoal terkait tanda tangan Kivlan yang terbubuh pada surat pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Menurutnya, untuk mendaftarkan gugatan ke Pengadilan seharusnya pihak yang menandatangani tersebut hadir ketika mendaftarkan gugatam sementara saat ini sebagaimana diketahui Kivlan masih ditahan di Rutan Pom Dam Jaya Guntur.
Setelah mendengar hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Antonius meminta agar keberatan tersebut dilampirkan di bagian eksepsi atau keberatan dari pihak tergugat yakni Wiranto.
Adi dan timnya pun menyetujui hal tersebut dan sidang dilanjutkan.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya Perseteruan antara mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto semakin memanas.
Melalui kuasa hukumnya, Kivlan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Wiranto. Gugatan tersebut terkait pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa pada 1998 yang diperintahkan oleh Wiranto.
Saat itu Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI (sekarang TNI).
"Ini gugatannya perbuatan melawan hukum karena ada masalah kewajiban dari Pak Wiranto kepada Pak Kivlan," ujar kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta, saat dihubungi Kompas.com, Senin (12/8/2019).
Adapun Pam Swakarsa merupakan kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) pada 1998.
Selama SI MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang SI, selain juga terlibat bentrokan dengan masyarakat yang merasa resah dengan kehadiran Pam Swakarsa.
Tonin mengatakan gugatan terhadap Wiranto telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 5 Agustus 2019.
Dijadwalkan sidang perdana akan digelar pada Kamis 15 Agustus 2019.
"Maka digugatlah tanggal 5 kemarin. Nah besok sidang, hari Kamis sidang pertama," kata Tonin.
Menurut pengakuan Kivlan dalam surat gugatannya, pada 1998 Wiranto memerintahkan dirinya untuk membentuk Pam Swakarsa dengan total pembiayaan Rp 8 miliar.
Namun, saat itu Wiranto hanya memberikan Rp 400 juta kepada Kivlan. Akibatnya, Kivlan harus menggunakan dana pribadi untuk menutupi kekurangan anggaran pembentukan Pam Swakarsa.
Toni mengatakan, di sisi lain Presiden BJ Habibie telah menyetujui kucuran dana untuk membentuk Pam Swakarsa sebesar Rp 10 miliar. Uang tersebut berasal dari dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog).
Menurut Tonin, kliennya sempat menagih dana tersebut saat pertemuan di kediaman Habibie.
Dalam pertemuan itu, Tonin mengatakan, Habibie menegaskan telah memberikan uang Rp 10 miliar kepada Wiranto.
"Sementara dari Bulog dikucurkan Rp 10 miliar. Pak Habibie sendiri yang menyatakan seperti itu," tutur dia.
Tonin mengatakan kliennya meminta ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada Wiranto. Dalam gugatannya, Kivlan meminta ganti rugi materiil yang terdiri dari:
1. Menanggung biaya Pam Swakarsa dengan mencari pinjaman, menjual rumah dan mobil serta mencari pinjaman total sebesar Rp 8 miliar.
2. Menyewa rumah karena telah menjualnya sampai dengan mendapatkan rumah lagi pada 2018 dari bantuan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Total biaya sewa Rp 8 miliar.
Kivlan juga meminta ganti rugi immateriil, yaitu:
1. Menanggung malu karena utang Rp 100 miliar
2. Tidak mendapatkan jabatan yang dijanjikan Rp 100 miliar
3. Mempertaruhkan nyawa dalam Pam Swakarsa Rp 500 miliar
4. Dipenjarakan sejak 30 Mei 2019 Rp 100 miliar
5. Mengalami sakit dan tekanan batin dari November 1998 sampai dengan sekarang Rp 184 miliar
"Seandainya tergugat (Wiranto) tidak menyuruh penggugat (Kivlan) untuk membuat pengamanan dalam bentuk Pam Swakarsa, maka rumah, mobil, dan barang berharga tidak pernah dijual, demikian juga nama baik dari tempat-tempat yang terjadi utang serta tidak perlu meminta dana bantuan dari berbagi pihak," kata Tonin.
Tonin mengatakan, sejak 1998 kliennya telah menagih biaya yang telah dikeluarkan untuk membentuk Pam Swakarsa.
Menurut dia, Kivlan telah menggunakan dana sebesar Rp 8 miliar untuk biaya operasional 30.000 anggota Pam Swakarsa.
Sebagian besar dana operasional itu diupayakan Kivlan dengan menjual rumah, mobil, dan barang berharga, bahkan berutang.
"Dari dulu kan sudah ditagih, dari 1998, 1999 bertemu. Nah dia (Kivlan) kan cuma staf waktu itu, jadi susah kalau bertemu. Akhirnya, pas bertemu bicara, di media bicara, kan gitu. Tetap saja (tidak ada penggantian dana operasional)," ujar Tonin.
Selain itu, Tonin mengakui keputusan Kivlan untuk menggugat Wiranto tidak terlepas dari perseteruan di antara keduanya.
Perseteruan memanas sejak adanya penolakan permohonan penangguhan penahanan.
Kivlan ditahan karena menjadi tersangka kasus dugaan makar dan kepemilikian senjata api ilegal untuk rencana pembunuhan tokoh nasional.
Kemudian melalui kuasa hukumnya, Kivlan mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Namun, Wiranto yang paling keras menolak permohonan tersebut.
"Semua orang tahu Pak Wiranto, kan, dia yang paling keras menolak soal penangguhan (penahanan). Penangguhan enggak boleh. Jadi sudah kepalang tanggung ya sudah, tagih saja," kata Tonin.