TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdana gugatan perdata Mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen terhadap Mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur hari ini, Kamis (15/8/2019).
Sidang tersebut tidak dihadiri Kivlan maupun Wiranto.
Hanya kuasa hukum dari kedua belah pihak yang hadir.
Sebelum sidang dimulai sekira pukul 10.30 WIB, kuasa hukum Wiranto, Adi Warman membantah seluruh pokok gugatan yang diajukan oleh Kivlan.
"Itu bohong semua. Substansi gugatan bohong semua ya. Kita bisa bantah satu per satu dengan detil," kata Adi.
Baca: Sidang Sempat Memanas, Kuasa Hukum Kivlan Zen dan Wiranto Adu Mulut di Depan Hakim
Baca: Kuasa Hukum Wiranto Sampaikan Keberatan Atas Surat Kuasa Kivlan Zen di Persidangan
Adi juga menilai banyak kerancuan yang terdapat dalam gugatam Kivlan terhadap kliennya.
"Dalam gugatan ini, itu tertulis gugatan perbuatan melawan hukum. Faktanya di dalam adalah urusan wanprestasi atau meminta ganti rugi uang karena melakukan suatu perbuatan. Di dalam lagi dia (Kivlan) menceritakan tentang dia ditahan sama tergugat (Wiranto). Jadi di situ sudah terjadi kerancuan, ketidakjelasan dan dasar hukumnya pun, kalau perbuatan melawan hukum, hukum apa yang dilanggar? Dasar hukum apa yang dilanggar?" kata Adi.
Ia juga menilai surat gugatan tersebut janggal karena dalam surat pendaftaran gugatan tersebut terdapat tanda tangan Kivlan.
Padahal menurutnya surat pendaftaran gugatan itu bisa ditandatangani oleh kuasa hukumnya.
"Kejanggalan yang pertama itu adalah gugayan yang ditandatangani langsung oleh yang bersangkutan, padahal yang bersangkutan sedang ada di dalam tahanan. Seharusnya surat kuasa itu kalau ada wakilnya maka wakilnya lah yang menandatanganinya atau kuasa hukumnya," kata Adi.
Perseteruan memanas
Diberitakan Kompas.com sebelumnya Perseteruan antara mantan Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad) Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto semakin memanas.
Melalui kuasa hukumnya, Kivlan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Wiranto. Gugatan tersebut terkait pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa pada 1998 yang diperintahkan oleh Wiranto.
Saat itu Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI (sekarang TNI).
"Ini gugatannya perbuatan melawan hukum karena ada masalah kewajiban dari Pak Wiranto kepada Pak Kivlan," ujar kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta, saat dihubungi Kompas.com, Senin (12/8/2019).
Adapun Pam Swakarsa merupakan kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR (SI MPR) pada 1998.
Selama SI MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa yang menentang SI, selain juga terlibat bentrokan dengan masyarakat yang merasa resah dengan kehadiran Pam Swakarsa.
Tonin mengatakan gugatan terhadap Wiranto telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 5 Agustus 2019.
Dijadwalkan sidang perdana akan digelar pada Kamis 15 Agustus 2019.
"Maka digugatlah tanggal 5 kemarin. Nah besok sidang, hari Kamis sidang pertama," kata Tonin.
Menurut pengakuan Kivlan dalam surat gugatannya, pada 1998 Wiranto memerintahkan dirinya untuk membentuk Pam Swakarsa dengan total pembiayaan Rp 8 miliar.
Namun, saat itu Wiranto hanya memberikan Rp 400 juta kepada Kivlan. Akibatnya, Kivlan harus menggunakan dana pribadi untuk menutupi kekurangan anggaran pembentukan Pam Swakarsa.
Toni mengatakan, di sisi lain Presiden BJ Habibie telah menyetujui kucuran dana untuk membentuk Pam Swakarsa sebesar Rp 10 miliar. Uang tersebut berasal dari dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog).
Menurut Tonin, kliennya sempat menagih dana tersebut saat pertemuan di kediaman Habibie.
Dalam pertemuan itu, Tonin mengatakan, Habibie menegaskan telah memberikan uang Rp 10 miliar kepada Wiranto.
"Sementara dari Bulog dikucurkan Rp 10 miliar. Pak Habibie sendiri yang menyatakan seperti itu," tutur dia.
Tonin mengatakan kliennya meminta ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada Wiranto. Dalam gugatannya, Kivlan meminta ganti rugi materiil yang terdiri dari:
1. Menanggung biaya Pam Swakarsa dengan mencari pinjaman, menjual rumah dan mobil serta mencari pinjaman total sebesar Rp 8 miliar.
2. Menyewa rumah karena telah menjualnya sampai dengan mendapatkan rumah lagi pada 2018 dari bantuan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Total biaya sewa Rp 8 miliar.
Kivlan juga meminta ganti rugi immateriil, yaitu:
1. Menanggung malu karena utang Rp 100 miliar
2. Tidak mendapatkan jabatan yang dijanjikan Rp 100 miliar
3. Mempertaruhkan nyawa dalam Pam Swakarsa Rp 500 miliar
4. Dipenjarakan sejak 30 Mei 2019 Rp 100 miliar
5. Mengalami sakit dan tekanan batin dari November 1998 sampai dengan sekarang Rp 184 miliar
"Seandainya tergugat (Wiranto) tidak menyuruh penggugat (Kivlan) untuk membuat pengamanan dalam bentuk Pam Swakarsa, maka rumah, mobil, dan barang berharga tidak pernah dijual, demikian juga nama baik dari tempat-tempat yang terjadi utang serta tidak perlu meminta dana bantuan dari berbagi pihak," kata Tonin.
Tonin mengatakan, sejak 1998 kliennya telah menagih biaya yang telah dikeluarkan untuk membentuk Pam Swakarsa.
Menurut dia, Kivlan telah menggunakan dana sebesar Rp 8 miliar untuk biaya operasional 30.000 anggota Pam Swakarsa.
Sebagian besar dana operasional itu diupayakan Kivlan dengan menjual rumah, mobil, dan barang berharga, bahkan berutang.
"Dari dulu kan sudah ditagih, dari 1998, 1999 bertemu. Nah dia (Kivlan) kan cuma staf waktu itu, jadi susah kalau bertemu. Akhirnya, pas bertemu bicara, di media bicara, kan gitu. Tetap saja (tidak ada penggantian dana operasional)," ujar Tonin.
Selain itu, Tonin mengakui keputusan Kivlan untuk menggugat Wiranto tidak terlepas dari perseteruan di antara keduanya.
Perseteruan memanas sejak adanya penolakan permohonan penangguhan penahanan.
Kivlan ditahan karena menjadi tersangka kasus dugaan makar dan kepemilikian senjata api ilegal untuk rencana pembunuhan tokoh nasional.
Kemudian melalui kuasa hukumnya, Kivlan mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Namun, Wiranto yang paling keras menolak permohonan tersebut.
"Semua orang tahu Pak Wiranto, kan, dia yang paling keras menolak soal penangguhan (penahanan). Penangguhan enggak boleh. Jadi sudah kepalang tanggung ya sudah, tagih saja," kata Tonin.