Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Idrus Marham diminta dihadirkan ke persidangan kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa Sofyan Basir, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero).
Penasihat Hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo menilai keterangan dari mantan sekretaris jenderal Partai Golkar itu sebagai saksi diharapkan akan menguntungkan kliennya.
Baca: Ahli Hukum dari Universitas Pancasila: Perbuatan Sofyan Basir Penuhi Unsur Pidana
"Iya. Sedang diajukan," kata Soesilo, kepada wartawan, Senin (19/8/2019).
Selain Idrus Marham, mantan petinggi Partai Golkar lainnya, Setya Novanto juga telah bersaksi di persidangan tersebut.
Pada waktu itu, Soesilo menilai keterangan Novanto menguntungkan kliennya.
Hal ini karena Novanto tidak mengetahui pertemuan antara pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo dengan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih membahas proyek PLTU Riau-1.
"Seperti yang tadi Pak Setnov mengatakan setelah itu beliau meninggalkan tempat sehingga pembicaraan itu terjadi antara Johanes Kotjo dan ibu Eni," kata Soesilo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (12/8/2019).
Di persidangan, Novanto membantah telah menerima imbalan sebesar US$6 juta atau lebih dari Rp 80 miliar dari terpidana Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd terkait proyek PLTU Riau-1.
Menurut dia, Novanto juga tidak pernah membicarakan fee atau biaya kepada Eni Maulani Saragih apalagi ke Sofyan Basir.
Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis.
Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.
Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.
JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.
Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 Miliar.
Baca: KPK Kejar Aliran Uang TPPU Eks Dirut Garuda Indonesia Lewat 30 Rekening Bank
Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.