Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, Film Bumi Manusia membawa pesan atas buruknya sikap diskriminasi dan intoleransi dalam kehidupan.
Film besutan Sutradara Hanung Bramantyo ini menunjukan setting film pada masa penjajahan Belanda dimana masalah intoleransi dan diskriminasi yang sangat buruk.
Baca: 3 Tempat Wisata di Yogyakarta yang Jadi Lokasi Syuting Film Bumi Manusia
Menurut Grace Natalie, Pesan yang diangkat dari buku karya Pramoedya Ananta Toer ini relevan dengan apa yang terjadi terhadap masyarakat Papua di Surabaya belakangan ini.
Hal itu disampaikan Grace Natalie usai nonton bareng Film Bumi Manusia dengan jajaran PSI yang turut dihadiri Sutradara Hanung Bramantyo di Jakarta, Kamis (22/8/2019) malam.
"Pesannya salah satunya bahwa apa yang terjadi di Papua karena ternyata masalah diskriminasi dan intoleransi belum selesai di negara kita," ujar Grace Natalie.
Grace Natalie mengatakan, permasalahan soal diskriminasi dan intoleransi memang belum selesai sampai saat ini di Indonesia.
Soal Ulangan Sumatif Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Semester 1 Kurikulum Merdeka Lengkap Kunci Jawaban
Latihan Soal & Jawaban PKN Kelas 1 SD Bab 2 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Aku Anak yang Patuh Aturan
Baca: Film Bumi Manusia Bantu Kenalkan Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer ke Generasi Milenial
Bahkan, Grace menyebut, seringkali para politisi menggunakan praktek rasisme dan diskriminasi untuk mencapai tujuan politiknya.
"Dalam kontestasi politik hal ini dimanfaatkan sehingga tanpa sadar bangsa kita kemudian permisif dengan hal-hal semacam itu. Jadi ini PR kita bersama dan jadi tantangan yang harus kita hadapi bersama-sama," tegas Grace Natalie.
Review film Bumi Manusia
Film Bumi Manusia tayang pada Kamis, 15 Agustus 2019. Tak sedikit yang penasaran dengan film adaptasi novel karya Pramoedya Ananta Toer tersebut.
Sebelum menonton film besutan sutradara Hanung Bramantyo ini, ada baiknya baca review filmnya terlebih dahulu.
Film berdurasi 3 jam itu, memberikan gambaran nyata tentang bentuk rasisme yang terjadi pada awal abad 20.
Pada zaman itu ras pribumi dianggap sebagai kasta terendah, di atasnya ada ras Indo atau darah campuran Belanda dan pribumi, dan yang teratas adalah ras Belanda asli. Atau dalam film disebut Belanda Totok.
Rasisme tersebut digambarkan secara nyata dengan perlakuan yang dialami Minke tokoh utama dalam film tersebut yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan.
Baca: Hanung Bramantyo Mengaku Tak Bisa Tidur Jelang Premier Film Bumi Manusia
Minke merupakan ras pribumi, meski ia sedikit lebih terpandang karena seorang anak bupati dan bersekolah di sekolah Belanda.
Film Bumi Manusia menggambarkan dengan detail tak hanya perbedaan perlakuan terhadap ras-ras tertentu.
Akan tetapi hukum yang timpang pada masa itu, tentunya hukum yang lebih membela ras Belanda Totok.
Minke yang merupakan ras pribumi asli jatuh cinta dengan Annelies Mallemar yang seorang Indo.
Annelies sendiri merupakan anak dari seorang pribumi yakni Sarinem, seorang gundik pria Belanda bernama Herman Herman Mallemar. Orang-orang kemudian memanggil Sarinem dengan nama Nyai Ontosoroh.
Di zaman itu, julukan Nyai dianggap sama dengan budak wanita bagi si suami yang seorang Belanda Totok.
Baca: Hanung Bramantyo Akui Iqbaal Ramadhan Belagu
Kisah cinta Minke dan Annelies berjalan indah di awalnya. Meski kakak dari Annelies, Robert Mallemar tak menyukai Minke.
Perasaan Minke sudah terbalaskan oleh Annelies sejak keduanya pertama kali bertemu di kediaman Nyai Ontosoroh.
Nyai Ontosoroh senang melihat keduanya saling mencinta.
Seiring berjalannya waktu Minke mulai terlibat bagai masalah yang menghampiri keluarga Nyai Ontosoroh dah Herman Mallemar.
Tentunya film Bumi Manusia bukan tentang kisah cinta Minke dan Annelies.
Lebih dari itu, film yang 80 persen syutingnya dilakukan di Yogyakarta memperlihatkan bagaimana Belanda dalam membentuk hukum yang hanya berpihak pada kaum mereka.
“Film ini dilakukan 80 persen di Yogyakarta dan melibatkan ribuan kru dari Yogyakarta,” ucap Hanung Bramantyo di Empire XXI Yogyakarta, Selasa (13/8/2019)
Bagi yang sudah membaca novel Bumi Manusia tentu tahu inti dari karya sastra yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dari balik jeruji besi itu.
Banyak nilai tentang menghargai seseorang tanpa memandang ras dan warna kulit.
“Lebih dari sekedar nilai fisik, film ini ada sebuah value untuk belajar menghargai sesama. Tanpa melihat ras dan warna kulit,” ujar Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Ine Febryanti dianggap beberapa orang yang sudah mengikuti special screening film Bumi Manusi, berhasil memerankan sosok Nyai Ontosoroh.
Dalam film tersebut, Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai sosok yang tegar dan berani melawan ketidakadilan.
“Kunci film ini ada di sosok Nyai Ontosoroh,” ujar Anto Hoed.
Hingga akhir film, emosi para penonton dibuat naik turun.
Meski dihujani pujian, film Bumi Manusia tak lepas dari kritikan.
Baca: Mawar de Jongh Emosi Didorong Hanung Bramantyo Saat Syuting Film Bumi Manusia
Secara jalannya cerita, film yang berdurasi tiga jam itu tak begitu membosankan. Hanya saja untuk ukuran film Indonesia, cukup terasa film tersebut berdurasi 3 jam.
Mengambil latar waktu di akhir tahun 1800-an akhir, arsitektur dan setting tempatnya rasanya kurang menggambarkan.
Beberapa design bangunan terlihat kalau itu hanya sebuah bangunan semi permanen.
Kemistri Iqbaal Ramadhan (Minke) dan Annelies Mallemar (Mawar De Jongh) cukup bagus, meski dalam beberapa kesempatan keduanya terlihat agak kaku.
Terlepas dari semua itu, Indonesia patut bangga di antara film bertemakan roman picisan. Hadir sebuah film yang berangkat dari sebuah karya sastra serta memberikan banyak pembelejaran.
Jangan lupa mulai 15 Agustus 2019, film Bumi Manusia produksi Falcon Picture sudah mulai tayang di bioskop Indonesia.