TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengatakan pihaknya mengapresiasi vonis kebiri kimiawi yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap terdakwa pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto.
Menurutnya, pemberatan hukuman itu dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap anak-anak.
"KPAI mengapresiasi majelis hakim PN Mojokerto maupun PT Jawa Timur yang memvonis berat tersangka pemerkosa 9 anak yaitu 12 tahun penjara, denda 100 juta dan hukuman pemberatan kebiri kimia, padahal hukuman pemberatan tersebut tidak ada dalam tuntutan jaksa," kata Retno ketika dihubungi Tribunnews.com pada Senin (26/8/2019).
Meski begitu, KPAI pun menghargai apabila Ikatan Dokter Indonesia menolak melakukan eksekusi.
Baca: Inilah Profil Kabupaten Penajam Paser Utara, Lokasi Ibu Kota Baru
"KPAI mengapresiasi pemberatan tersebut agar ada efek jera. Kalau IDI menolak, pastilah ada dasar pertimbangan nya. Dari awal Perpu Kebiri dirancang, IDI memang sudah menolak. Pertimbangan secara medis dan kode etik mungkin jadi alasan. Itu kewenangan IDI dan harus dihormati," kata Retno.
Ia pun mendorong terkait perlunya solusi atas cara pengebirian tersebut meskipun hal itu bukan kewenangan pihaknya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa KPAI berada pada ranah untuk memastikan anak-anak terlindungi dari para predator dan pelaku kejahatan sesksual terhadap anak.
"Mungkin harus dipikirkan solusinya, misalnya apakah mungkin kebirinya tidak melalui suntikan tetapi melalui pil atau obat. Tentu ini bukan ranah KPAI dan bukan kapasitas kami, harus ahlinya. Ranah KPAI adalah memastikan anak-anak terlindungi dari para predator dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Yang pasti, secara hukum, majelis hakim sudah berupaya memberi efek jera pada pelaku dan berupaya melindungi anak-anak dari kejahatan seksual," kata Retno.
Baca: PKS Minta Pemerintah Segera Kirim Naskah Akademis dan Landasan Yuridis Ke DPR
Ia mengatakan, KPAI berharap hukuman berat ini dapat memberikan efek jera kepada pelaku, dan hukuman ini juga bisa menjadi yurisprudensi hakim lain dalam kasus kejahatan seksual pada anak-anak.
Diberitakan sebelumnya, vonis hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual dengan korban anak-anak baru pertama kali terjadi di Mojokerto, Jawa Timur.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto Nugroho Wisnu mengatakan, dari sekian kasus kejahatan seksual, khususnya pemerkosaan yang diajukan ke pengadilan, baru kali ini keluar vonis hukuman kebiri kimia.
Vonis hukuman itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Pengadilan memutuskan Aris bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Baca: Pria Lebih Rentan Kena Serangan Jantung Ketimbang Wanita
Pemuda tukang las itu dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Aris dikenakan hukuman tambahan beruapa kebiri kimia.
"Untuk wilayah Mojokerto ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com pada Minggu (25/8/2019) malam.
Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali pemerkosaan di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Ada pun para korbannya merupakan anak-anak.
"Dalam persidangan, terungkap 9 korban," kata Wisnu.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menanggapi keputusan pengadilan di Jawa Timur yang memberi hukuman kebiri kimia kepada pemerkosa 9 anak.
Baca: Betrand Peto Kian Terkenal sebagai Penyanyi, Pengamat Musik Ungkap Kelebihan Putra Angkat Ruben Onsu
"Akhirnya, ada juga pengadilan negeri yang memuat kebiri kimiawi dalam putusannya bagi terdakwa predator seksual. Majelis Hakim di PN Mojokerto," ujarnya, Sabtu (24/8/2019).
Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tidak bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.
Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tdk bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.
"Pertama, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi pelaksana karena di Indonesia filosofi kebiri adalah retributif. Padahal, di luar, filosofinya adalah rehabilitasi. Dokter, kata IDI, bertugas menyembuhkan, bukan balas dendam," katanya.
Alasan kedua, sambung Reza, di sini, kebiri dijatuhkan dengan menihilkan kehendak pelaku. Alhasil, bisa-bisa pelaku menjadi semakin buas.
"Kemudian di luar, kebiri adalah berdasarkan permintaan pelaku. Pantaslah kalau di sana kebiri kimiawi mujarab. Di sini belum ada ketentuan teknis kastrasi kimiawi. Akibatnya, UU 17/2016 melongo bak macan kertas."