TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, menilai alasan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena khawatir harus dibahas ulang oleh Anggota DPR RI periode berikutnya, tidak masuk akal.
Ia menilai, draft yang ada saat ini yakni yang diakses pada 25 Juni 2019 lalu, sebetulnya tidak banyak berubah dari draft yang disusun pertama kali pada 2005 lalu.
Ia mengatakan kalau pembahasan tersebut ditunda masuk ke (anggota DPR) periode berikutnya, maka para pihak yang membahasnya tidak berubah yakni Pemerintah dan DPR sebagaimana pada saat tahun 2005 lalu.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kantor YLBHI Jakarta Pusat pada Senin (26/8/2019).
"Kan yang mengajukan pemerintah, masukan saja draft terakhir pembahasan. Dealnya siapa? Ada atau tidak partai politik yang tambah atau berkurang? Tidak ada. Anggotanya kan itu-itu saja. Kalau ini komitmen untuk bangsa, harusnya fraksi-fraksi di DPR itu bisa kumpul. Masa' untuk kegentingan bangsa yang begitu besar, pimpinan fraksi tidak bisa mengajak ngobrol bareng anggota DPR?" kata Erasmus.
Baca: Kisah Haru Saksi Hidup Pembantaian KM Mina Sejati, Nekat Terjun ke Laut Aru Demi Anak dan Cucu
Baca: Keluarga Minta Polisi Autopsi Ulang untuk Mengungkap Misteri di Balik Kematian Sekdes Siprianus
Ia menilai hal itu adalah masalah kesepakatan saja.
"Kalau bangsa ini mau sepakat soal draft itu, ya janganlah perdebatannya di hal-hal formal. Itu bukan persoalan. Jadi formalitas itu tidak masuk akal bagi kami. Karena draft ini juga draft tahun 2005," kata Erasmus.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga menambahkan hal senada.
Ia mengingatkan, bahwa DPR adalah lembaga.
Ia menilai, narasi yang berkembang akhir-akhir ini menempatkan DPR dan Presiden sebagai orang, bukan mereka adalah kelembagaan.
"Secara kelembagaan tidak bisa kita katakan DPR sekarang tidak mau ikutan sama DPR dulu. Sebetulnya praktik sekarang itu terjadi, sehingga DPR seolah lupa ingatan. Sudah menerbitkan UU 39/1999 tentang HAM, DPR berikutnya ketika menyusun KUHP tidak mengikuti UU 39/1999 itu. Itu kan mereka bukan orang, tapi kelembagaan. Jadi praktik kelembagaan kita harus dibenahi," kata Asfinawati.
Baca: Pemerintah Terus Kembangkan Skema Perluasan Kesempatan Kerja
Baca: Mesra, Masih Pakai Baju Pengantin, Bani M Mulia Gendong Lulu Tobing
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani membantah bahwa pihaknya terburu buru dalam menyusun rancangan Kita Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurutnya RKUHP tersebut sudah 4 tahun dibahas namun belum rampung-rampung.
Anggota DPR RI Komisi III Arsul Sani mengatakan pihaknya mendorong pengesahan RKUHP sekarang ini karena khawatir RKUHP tidak kunjung rampung bila kemudian pembahasannya dilanjutkan oleh anggota DPR periode mendatang.
"Persoalan kalau tidak kita sahkan masa sidang ini, terbentuk periode baru nanti. Dimulai lagi dari awal terus sampai kapan. Jangan-jangan sampai kiamat kurang satu hari, kita tidak punya karya (KUHP) sendiri, jadi bukan warisan Belanda," tuturnya.