News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seleksi Pimpinan KPK

2 Jenderal Polisi Dicecar Pansel Capim KPK: Tuduhan Mengancam hingga Nginap Gratis di Hotel

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Capim Komisi Pemberantasan Korupsi Irjen Firli Bahuri menjalani tes wawancara dan uji publik di Gedung 3 Lantai 1, Setneg, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta, sebanyak 20 calon pimpinan KPK menjalani tes wawancara dan uji publik secara bertahap di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).

Panitia Seleksi (pansel) yang dipimpin Yenti Ganarsih memimpin sesi tes wawancara.

Sementara, uji publik terhadap 20 capim KPK dilakukan oleh panelis dari pansel dan melibatkan dua ahli. Keduanya adalah sosiolog Meutia Garni Rahman dan ahli hukum sekaligus pengacara salah satu tersangka di KPK, Luhut MP Pangaribuan. Dua tahapan itu berlangsung sekitar 1,5 jam.

Di antara capim KPK yang menjadi pusat perhatian dalam sesi tes uji publik adalah dua perwakilan dari Polri, yaitu Wakil Kepala Bareskrim, Irjen Antam Novambar dan Kapolda Sumatera Selatan sekaligus mantan Deputi Penindakan KPK dan mantan Kapolda NTB, Irjen Firli Bahuri.

Keduanya diklarifikasi soal sejumlah dugaan pelanggaran yang pernah dilakukannya keduanya hingga tingkat integritas dalam pemberantasan korupsi.

Baca: Viral Wanita Sopir Travel di Samarinda Ini Diduga Dilecehkan, Penumpang Pria Pamerkan Alat Kelamin

Baca: Belasan Saksi Diperiksa Terkait Pelecehan Seksual oleh Oknum Dosen Universitas Palangkaraya

Baca: Waketum Gerindra Benarkan Prabowo Miliki Lahan di Ibu Kota Baru: Kami Usul Bukan Kaltim tapi Jonggol

Anggota Pansel Capim KPK, Hamdi Muluk mengklarifikasi Antam soal dugaan dirinya pernah mengancam Endang Tarsa selaku Direktur Penyidikan KPK di depan umum. Antam Novambar membantah dan mengklarifikasi kabar itu.

"Empat tahun saya bertahan tidak pernah menjawab, saya bersiap untuk. Saya tidak pernah meneror Endang Tarsa. Ini ada saksinya," kata Antam saat tes wawancara dan uji publik.

Majalah Tempo dalam pemberitaan pada 20 Januari 2015, menyampaikan Antam diduga pernah mengancam Direktur Penyidik KPK kala itu, Kombes Endang Tarsa. Endang Tarsa disebut diminta menjadi saksi meringankan dalam perkara ‎praperadilan penetapan sebagai tersangka KPK, Budi Gunawan.

‎"‎Alhamdulilah penguji dan wartawan, setiap kali saya ditanya Antam Novambar sebagai peneror, saya seakan punya pengalaman catatan kelam. Saya jawab nanti ada saatnya, dan sekarang lah saatnya. Saya empat tahun ini tidak jawab, saya tidak pernah meneror," tegas dia.

Lanjut panelis menanyakan Antam soal dugaan kepemilikan 'Rekening Gendut' hingga kepatuhannya dalam melaporkan Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK. "Kayaknya saya enggak deh (rekening gendut). Saya lapor LHKPN tahun 2018, masuk 2019," jawab Antam.

Panelis tak mempercayai begitu saja. Sebab, pansel memiliki laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) soal dugaan aliran dana mencurigakan di rekening milik Antam. Bahkan, Ketua Pansel, Yenti Ganarsih menunjukkan laporan dari PPATK itu.

Lagi, Antam mempunyai alasan sendiri.  "‎Seingat saya, saya kasih ke istri itu uang gaji, honor dan perjalanan dinas. Silakan dicek, kalau uang-uang jumlah besar itu usaha anak saya. Dia dari kecil sudah jadi pengusaha," jawab Antam.

Di hadapan panelis, Antam juga menyampaikan penolakan terhadap anggapan anggota Polri yang bertugas di KPK bisa memperlemah KPK. Menurutnya, hal itu hanya penggiringan opini.

Menurutnya, keberadaan anggota Polri di dalam KPK sudah berdasarkan proses seleksi ketat. Dan sejauh ini, tidak ada bukti Polri memperlemah KPK. Ia mencontohkan, anggota Polri yang masa dinasnya sudah selesai di KPK tidak pernah menghalangi kinerja KPK.

Ia mengatakan dirinya ingin mengubah KPK agar lebih baik. Sebab, saat ini KPK sudah berada di zona nyaman, di mana ada sejumlah internal KPK yang khawatir terjadi perubahan.

Dalam kesempatan itu, Ketua Pansel Yenti Ganarsih juga mendalami integritas dan komitmen Antam dalam pemberantasan korupsi, khusus jika menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan petinggi Polri yang sekaligus berpotensi terjadi potensi konflik kepentingan atau conflict of interest.

Antam berjanji dirinya tidak pandang bulu jika berhadapan dengan pelaku kasus dugaan korupsi, tak terkecuali pelakunya adalah pejabat atau senior di Polri.

"Jika ada oknum Polri, Bapak berani kalau senior-senior tertangkap, mau meninggalkan atribut Bapak?" tanya Yenti.

"Hajar, hajar. Saya pegang janji saya," jawab Antam.

Meski begitu, Antam mengaku setiap menangani kasus dugaan korupsi memegang prinsip 'tanpa gaduh'.

"Saya orang Sunda bu. Ada pribahasa Laukna Benang, Caina Herang. Ketika mengambil ikan, airnya jernih dan tidak keruh, Ikannya dapat. ‎Kita tegakkan hukum tanpa timbulkan kegaduhan. Kalau pejabat Polri kena, yang penting tangkap," tambahnya.

Pertanyaan klarifikasi dugaan pelanggaran, integritas dan komitmen dalam pemberantasan korupsi juga disampaikan panelis kepada capim KPK, Irjen Firli Bahuri.

Yenti Ganarsih selaku ketua pansel mengklarifikasi Firli soal dugaan penerimaan gratifikasi penginapan di hotel selama dua bulan saat perpindahan dari jabatan Kapolda NTB menjadi Deputi Penindakan KPK.

"Informasinya ada pihak tertentu yang membayar. Ini masukan dari masyarakat. Saya menyampaikan, tidak menuduh. Apa bapak bisa klarifikasi karena ini banyak ditanyakan," tanya Yenti.

Firli mengakui saat proses perpindahan penugasan itu dirinya menginap selama dua bulan di sebuah hotel di Lombok, NTB, pada pertengah 2018. Namun, penginapan itu dinikmatinya tidak secara gratis.

"Saya betul menginap di Grand Legi Lombok selama dua bulan dari 24 April-‎26 Juni. Saya menginap disana karena anak saya masih SD, istri saya harus mengawasi anak. Sementara saya harus pindah ke Jakarta," ungkap Firli.

Selama‎ hampir dua bulan menginap, lanjut Firli, istrinya membayarkan langsung ketika check in tanggal 24 April, uang tunai Rp 50 juta yang dibungkus dengan amplop coklat.

Firli menegaskan selama menginap di hotel, dirinya sama sekali tidak pernah dibayari oleh pihak manapun. Pun demikian saat kali pertama menjabat sebagai Kapolda Sumsel, dirinya sempat menginap di hotel selama empat hari di Palembang.

"Saya ini orang yang rajin mencatat. Saya juga bawa invoice, bisa saya bacakan nomornya. Tanggal 24 April istri saya bayar 50 juta, lalu 26 juni bayar Rp 5.174.450. Invoice ini keluar tanggal 28 Mei‎," kata Firli seraya menunjukkan invoice ke arah para panelis.

"Jadi tidak benar saya terima gratifikasi menginap di hotel. Saya punya harga diri, 35 tahun jadi polisi saya tidak pernah memeras dan meminta-minta pada siapapun. Ini penjelasan saya yang resmi. Selama ini saya selalu berdamai dengan diri saya," tambah dia.

Dalam tes tersebut, panelis juga mengkonfirmasi Firli soal dugaan pelanggaran etik sewaktu menjadi Deputi Penindakan KPK.

Dia diduga melakukan pertemuan dengan Muhammad Zainul Madji atau lebih dikenal Tuan Guru Bajang alias TGB selaku Gubernur NTB di sebuah lapangan tenis di NTB. Padahal, saat itu TGB masuk sebagai salah satu pihak yang diperiksa dalam kasus divestasi saham PT Newmont.

Firli mengakui pertemuan itu hingga akhirnya diperiksa oleh Pengawas Internal KPK. Namun, pertemuan itu bukan direncanakan dan tanpa hubungan keterikatan.

‎"Saya tidak ingin mengulang masalah ini. Selama ini saya memilih diam. Saya pilih berdamai dengan diri saya sendiri," ujar Firli menjawab pertanyaan anggota Pansel Capim KPK, Marcus Priyo Gunarto.

Firli menjelaskan banyak pihak menduga ia telah melanggar kode Etik Undang-undang Nomor 30 tahun 2002, khususnya intenral KPK mengadakan hubungan dengan pihak berperkara. Padahal, Pasal 38 undang-undang tersebut dijelaskan hubungan yang dimaksud ialah hubungan langsung atau tidak langsung ‎dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara di KPK.

Mengacu pasal itu, Firli menilai dirinya tidak melakukan pelanggaran etik KPK. "‎Saya tidak melakukan hubungan. Kalau bertemu iya. Saya bertemu dengan TGB tanggal 13 Mei 2018. Bertemunya begini, saya sudah izin pimpinan Ke NTB ada sertijab. Lalu saya diundang main tenis ada Danrem, Danlanud. Saya datang, main dua set, pukul 09.30 baru TGB datang. Saya tidak mengadakan hubungan dan pertemuan. Kalau bertemu iya," tegas Firli.

Buntut dari masalah itu, menurut Firli dirinya sempat diperiksa pengawas internal atau Panwas KPK. Bahkan Firli diminta memberikan klarifikasi langsung ke Pengawas Internal KPK pada 20 Oktober 2018 dan kepada lima pimpinan KPK pada 19 Maret 2019.

"Hasilnya dari pertemuan itu bahwa tidak ada fakta saya melanggar UU No 30, saat itu TGB bukan tersangka‎. Saya tidak melakukan hubungan. Kesimpulannya bukan pelanggaran. Infantri Farid yang hubungi TGB, bukan saya," kata Firli lagi.

Hasil penilaian dari tes kesehatan, wawancara dan uji publik terhadap 20 capim KPK ini akan digabungkan untuk selanjutnya dipilih 10 orang capim KPK dengan nilai terbaik. Sebanyak 10 nama yang lolos tahapan tersebut akan diumumkan pada Jumat, 30 Agustus 2019. Selanjutnya, nama-nama itu akan diserahkan Pansel Capim KPK kepada presiden untuk kemudian diterima pada 2 September 2019.

Sebelumnya adanya tes wawancara dan uji publik ini, pihak mengkritis kinerja Pansel Capim KPK yang dipimpin oleh Yenti Ganarsih. Sebab, Pansel tak menggubris temuan hasil penelusuran (tracking) KPK tentang adanya sejumlah capim KPK bermasalah, tetapi tetap diloloskan dalam tes profile assessment. Padahal, KPK telah menyampaikan nama-nama hingga dugaan masalah para capim tersebut kepada pihak pansel.

Capim KPK yang diduga bermasalah itu terkait ketidakpatuhan dalam pelaporan Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dugaan penerimaan gratifikasi, dugaan perbuatan yang menghambat kerja KPK, dugaan pelanggaran etik saat bekerja di KPK, dan lain-lain. 

KPK Mentahkan Firli

Secara terpisah, KPK melalui juru bicaranya, Febri Diansyah, membantah pengakuan Firli Bahuri di depan anggota Pansel Capim KPK dan panelis.

"Setelah saya cek ke Pimpinan KPK, kami pastikan informasi tersebut tidak benar. Pimpinan KPK tidak pernah menyatakan, apalagi memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran etik oleh mantan pegawai KPK (Firli Bahuri) yang sekarang sedang menjalani proses pencalonan sebagai pimpinan KPK," kata Febri.

Febri kemudian menyebut pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal (PI) melakukan penelusuran terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli. Penelusuran dilakukan dengan memeriksa 27 orang saksi, 2 orang ahli, menganalisis bukti elektronik dan juga menggali informasi terkait berapa kali pertemuan dengan salah satu saksi perkara di KPK. Penelusuran terhadap Firli telah selesai pada 31 Desember 2018.

Febri mengatakan pertemuan yang dilakukan oleh Firli terhadap pihak berperkara tidak hanya dilakukan satu kali. "Fokus tim bukan hanya pada 1 pertemuan saja, tetapi sekitar 3 atau 4 pertemuan," ujarnya.

Hasil penelusuran dan pemeriksaan tersebut diserahkan ke pimpinan KPK pada 23 Januari 2019 dan selanjutnya diserahkan ke Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP). "Prosesnya telah masuk di DPP dan kemudian DPP mendengar paparan dari Direktorat Pengawasan Internal," ucap Febri.

Namun, proses tersebut tidak bisa selesai karena Firli lebih dulu ditarik oleh institusi asal, Polri. Febri mengatakan KPK telah melakukan komunikasi dengan Polri terkait penarikan itu. KPK, kata Febri, juga sudah memberikan informasi yang cukup pada pansel.

"Untuk menjaga hubungan antar institusi penegak hukum, maka Pimpinan KPK melakukan komunikasi dengan Polri terkait dengan proses penarikan dan tidak diperpanjangnya masa tugas yang bersangkutan di KPK. KPK tidak dapat membuka Informasi lebih rinci, namun kami sudah memberikan Informasi yang cukup pada pihak Panitia Seleksi," tuturnya. (tribun network/tim/coz)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini