Kedua daerah tersebut (Pandeglang dan Lebak) diketahui memiliki prevalensi stunting yang cukup tinggi, uji coba pun dilakukan terhadap para remaja.
"Itu sudah tahapan-tahapannya kita lakukan dan kita sudah coba di 2 tempat, di Pandeglang, karena memang angkanya paling tinggi di sana. Kemudian di Bali sini, di Denpasar sini kita coba kepada anak-anak pelajar SMA, remaja putra dan putri untuk penerimaan Purula ya," papar Soni.
Untuk melakukan uji coba tersebut, kata dia, ada sejumlah syarat yang harus diperhatikan. Satu diantaranya remaja tersebut tidak sedang mengelami infeksi. Soni pun menjelaskan tahapannya, mulai dari pengambilan darah pada awal sebelum pengkonsumsian Purula hingga pemeriksaan darah setelah mengkonsumsi dalam kurun waktu tertentu.
"Ada syarat-syaratnya, dia tidak boleh sedang datang bulan saat pemeriksaan. Kemudian (prosesnya uji cobanya) dalam 2 minggu hingga 1 bulan, mereka awalnya diambil darah, dikasih makan Purula dengan aturan yang kita atur, kemudian sebulan kemudian diambil darahnya lagi untuk diperiksa," tegas Soni.
Dari pengecekan darah tersebut dapat terlihat perbedaan dari sebelum dan sesudah mengkonsumsi Purula.
Ia pun berharap kelak jika dikomersialisasi, Purula ini bisa dikonsumsi secara rutin pada anak dan menjadi solusi dalam upaya pemerintah untuk menekan angka stunting.
"Di situ kelihatan kadar (zat) besinya dan lain-lain itu turun, sehingga diharapkan kalau kita makan rutin dari kecil, pencegahan stunting bisa berjalan," pungkas Soni.
Perlu diketahui, sesuai hasil kaji-terap yang dilakukan BPPT, Purula tidak hanya bisa mencegah stunting, namun juga terbukti dapat meningkatkan asupan zat besi untuk menangani anemia gizi besi.
Hasil uji efikasi menunjukkan bahwa mengkonsumsi Purula mampu meningkatkan kadar serum feritin dan penyerapan terhadap zat besi secara signifikan. Tentunya dalam menerapkan inovasi ini, BPPT memerlukan dukungan dan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan terkait.(*)