Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Bawaslu memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengajukan revisi Undang-Undang Pemilu khususnya soal larangan mantan koruptor maju dalam Pilkada dinilai tepat.
"Ini adalah upaya yang sesuai dengan kerangka hukum yang benar, dimana pembatasan hak politik yang merupakan bagian dari HAM bisa diatur dalam Undang-Undang," ujar pegiat antikorupsi, Hendrik Rosdinar kepada Tribunnews.com, Rabu (28/8/2019).
Karena itu menurut Hendrik Rosdinar, revisi ini harus direspons Presiden Jokowi dengan mengajukan revisi Undang-Undang kepada DPR.
Baca: 5 Fakta Anak Injak Kepala Ibunya, Kini Ikuti Pelatihan Kerja Hingga Lihat Air Mata Ibu Terakhir
Baca: Listrik di Jakarta dan Tangerang Sore Ini Mulai Normal Setelah 11 Gardu Induk Berhasil Dinyalakan
Baca: Wanita Ditemukan Tewas Bersimbah Darah di Kebon Jeruk, Diduga Korban Pembunuhan
"Ini akan menjadi tolok ukur bagi keseriusan Presiden dalam memberantas korupsi, terutama jika kita mengaca pada data Kepala Daerah yang terkena OTT KPK maupun jeratan oleh Aparat penegak hukum lainnya," jelas Manajer Advokasi Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) ini.
Dia menilai, Revisi Undang-Undang Pemilu akan menjadi terobosan di tengah tidak berhasilnya hukuman penjara dalam memberika efek jera bagi Kepala Daerah mantan koruptor.
Kasus Bupati Kudus adalah contohnya.
Dia yakin, Presiden Jokowi akan merespons rekomendasi tersebut dengan baik, demikian pula DPR.
"Karena jika mereka tidak merespons dengan baik, maka publik akan mempertanyakan komitmen mereka dalam memberantas korupsi di daerah, khususnya yang melibatkan kepala daerah," tegasnya.
Mardani setuju
Wakil Ketua Komis II DPR RI Mardani Ali Sera setuju dengan usulan KPK mantan Narapidana kasus korupsi dilarang ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat dengan usulan KPK bahwa eks Napi korupsi dilarang ikut Pilkada.
"Setuju ada pembatasan bagi eks koruptor," kata Mardani saat dihubungi, Selasa, (30/7/2019).
Ia mengatakan setiap orang memang memiliki hak untuk maju dalam Pemilihan Umum atau pemilihan Kepala Daerah.
Baca: Anies Tidak Akan Diam Melihat Potensi Reklamasi Pulau H Dilanjutkan
Baca: Peneliti LIPI Berharap Pemindahan Ibu Kota Bukan Hanya Sekadar Atasi Kemacetan
Baca: Dianggap Kadaluarsa, Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Pengamen Korban Salah Tangkap
Baca: Viral Bocah SD ke Sekolah Tanpa Alas Kaki, Setelah Dikunjungi Ceritanya Lebih Lebih Miris
Hanya saja, bila eks koruptor maju, maka rentan mengulangi korupsi seperti yang terjadi pada kasus Bupati Kudus.
"Jadi hak publik lebih penting diselamatkan ketimbang hak pribadi,"katanya.
Menurutnya pendapatnya tersebut akan disampaikan dalam forum rapat antara Komisi II dengan KPU dalam menyusun Perataruan KPU (PKPU) terkait Pilkada.
"Bentuknya ada dua bisa revisi UU dan bisa pembahasan di PKPU," katanya.
Pernyataan KPK
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan menyesalkan kembali terjadinya suap yang melibatkan kepala daerah terkait dengan jual beli jabatan.
KPK baru saja menetapkan Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, sebagai tersangka kasus suap.
Baca: Update Bupati Kudus M Tamzil Ditangkap KPK, Merasa Dijebak hingga Tebar Senyuman
Basaria Panjaitan menegaskan agar kasus jual beli jabatan ini tidak boleh terjadi lagi karena merusak tatanan pemerintahan.
"Ini juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk pengembangan SDM yang professional sebagai salah satu tujuan dari reformasi birokrasi yang tengah dilakukan. Reformasi birokrasi juga menjadi salah satu fokus dari Program Stranas PK yang sudah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo," ujar Basaria Panjaitan kantor KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/7/2019).
Muhammad Tamzil sebelumnya pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan saran dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus saat menjadi Bupati Kudus pada periode pertama (2003-2008).
Namun dirinya kembali dicalonkan pada Pilkada Kudus dan kembali menjabat sebagai Bupati.
Melihat hal tersebut, KPK meminta agar partai politik tidak mencalonkan calon kepala daerah yang pernah menjadi napi korupsi.
"Dengan terjadinya peristiwa ini, KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada Tahun 2020 mendatang, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," tegas Basaria Panjaitan.
"Kasus ini juga sekaligus menjadi pelajaran bagi parpol dan masyarakat bahwa penting untuk menelusuri rekam jejak calon kepala daerah. Jangan pernah lagi memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih," tambah Basaria Panjaitan.
Seperti diketahui, KPK menetapkan Muhammad Tamzil sebagai tersangka kasus gratifikasi terkait pengisian perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019
Dalam kasus ini, selain menetapkan Muhammad Tamzil, sebagai penerima KPK juga menetapkan Staff Khusus Bupati, Agus Surantoe, sebagai tersangka.
Sedangkan pihak yang diduga menjadi pemberi adalah Plt Sekretaris Dinas DPPKAD Kabupaten Kudus, Plt Sekretaris Dinas DPPKAD Kabupaten Kudus, Akhmad Sofyan.
Baca: Ditetapkan Tersangka, Bupati Kudus Pernah Dipenjara Bersama Staf Khususnya
Terhadap pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.