”Mboten, mas, berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput” (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur,” cuit SimpleMan.
Tak hanya itu, SimpleMan juga memberi keterangan bahwa lokasi KKN di Desa Penari berjarak 4 jam hingga 5 jam dari kota S.
”Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S,” tulis SimpleMan.
Di Jawa Timur, hanya Kota Surabaya yang berawal huruf S. Penelusuran menggunakan fasilitas Google Maps menunjukkan perjalanan dari Surabaya ke Bojonegoro paling lama 3 jam 31 menit, sedangkan perjalanan dari Surabaya ke Bondowoso sekitar 4 jam 40 menit.
Maka, semakin meruncinglah dugaan lokasi kisah misteri KKN di Desa Penari tersebut.
Kota B, Desa Kabupaten K, Desa W yang dimaksud penulis kemungkinan ialah Desa Wonoboyo, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso.
Namun, alas D masih menjadi misteri karena tidak ada petunjuk khusus yang mengarah ke sana.
Foto-foto Desa Wonoboyo Bondowoso
Tribunnews.com mencoba mengakses Desa Wonoboyo, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso melalui google maps.
Berikut foto-fotonya:
Foto-foto lengkap Desa Wonoboyo selengkapnya via google maps, bisa anda akses melalui tautan ini: Link
Belum atau Tidak Berniat Baca Cerita KKN di Desa Penari? Bisa Jadi karena Anda Memiliki IQ Tinggi
KKN di Desa Penari beberapa hari belakangan kerap diperbincangkan oleh warganet.
Laman Facebook, Twitter, dan media-media online pun diisi pembahasan mengenai kisah ini.
Namun, seperti dilihat di kolom komentar Facebook untuk artikel Kompas.com mengenainya, masih ada orang-orang yang belum dan mungkin tidak berminat membacanya.
Bila Anda termasuk salah satunya, tidak perlu berkecil hati karena ketidakmauan Anda untuk baca cerita horor yang sedang tren ini bisa jadi pertanda Anda punya IQ tinggi.
Pasalnya, ada sebuah penelitian dalam jurnal Evolution and Human Behavior pada 2015 yang menemukan bahwa sikap non-konformis adalah pertanda IQ tinggi.
Menurut temuan tersebut, orang-orang dengan IQ tinggi tidak membuat keputusan dengan mengikuti orang lain. Akan tetapi, bila mereka memutuskan untuk mengikuti mayoritas, itu dilakukan dengan lebih strategis.
"Dengan kata lain, orang-orang pintar biasanya membuat jalannya sendiri karena mereka pikir mereka punya jawaban yang benar. Tapi ketika mereka tidak yakin, mereka lebih mau daripada orang-orang dengan IQ biasa untuk mengikuti mayoritas," ungkap penelitian, seperti dilansir siaran persnya, 28 Juli 2015.
Para peneliti dari University of British Columbia (UBC) mendapatkan hasil tersebut setelah melakukan eksperimen mengenai informasi sosial atau informasi yang kita dapat dari orang lain terhadap 101 orang.
Dalam eksperimen ini, para partisipan diminta untuk membandingkan panjang berbagai garis.
Namun, sebelum menjawab, mereka diberi tahu jawaban partisipan lain.
Mayoritas partisipan memutuskan dengan mengikuti pilihan mayoritas, apalagi bila pilihannya semakin banyak dan mereka semakin bingung.
Namun, tidak dengan orang-orang yang ber-IQ lebih tinggi. Mereka lebih yakin dengan jawaban mereka sendiri dan tidak mudah dipengaruhi oleh jawaban orang lain.
Meski demikian, para peneliti menegaskan bahwa hasil temuan mereka bukan ingin mengatakan bahwa mengikuti mayoritas, atau dalam kasus ini ikut-ikutan membaca KKN di Desa Penari karena sedang tren, adalah hal yang buruk.
Baca: Psikolog Buka Kriteria Orang yang Suka Baca Kisah Horor KKN di Desa Penari
Malah, menurut pemimpin studi Michael Muthukrishna yang mendapat gelar PhD dari departemen psikologi UBC dan kini mengajar di London School of Economics, konformitas atau mengikuti mayoritas bisa jadi hal baik.
"Manusia itu konformis dan itu adalah sesuatu yang baik untuk evolusi kultural. Dengan menjadi seorang konformis, kita meniru hal-hal yang populer di dunia dan hal-hal itu biasanya baik dan berguna," ujarnya.
Sebagai contoh, mayoritas orang tidak benar-benar mengerti bagaimana kuman bisa menyebabkan penyakit, tetapi mereka tetap cuci tangan setelah buang air karena itu baik untuk kesehatan. Muthukrishna mengatakan, seluruh dunia kita terdiri dari hal-hal yang kita lakukan karena baik untuk kita, tetapi kita tidak tahu alasannya.
"Kita tidak perlu tahu alasannya, kita hanya perlu tahu bahwa orang lain juga melakukannya," katanya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul: Mencari Jejak Desa Penari
(Tribunnews.com/Daryono) (Kompas.com) (Kompas.Id)