Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mendukung rencana revisi Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Nasdem, Achmad Hatari mengatakan rencana revisi dengan tujuan satu tarif bea meterai tersebut berpotensi untuk meningkatkan pendapatan negara.
Apalagi melalui rencama revisi itu juga mengatur adanya bea meterai digital untuk dokumen digital.
Seperti diketahui bahwa sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan revisi UU Bea Meterai, di mana bea meterai Rp 3 ribu untuk dokumen dengan nominal Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta dan bea meterai Rp 6 ribu untuk dokumen dengan nominal di atas Rp 1 juta akan dihapus dan digantikan bea meterai Rp 10 ribu untuk dokumen dengan nominal berapa pun.
“Bea meterai merupakan satu sumber pendapatan negara melalui penerimaan pajak, jika ini direvisi maka akan menambah pendapatan negara,” ujarnya dalam forum group discussion di Fraksi Nasdem di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2019).
Ia menjelaskan bahwa tren pendapatan negara dari bea meterai mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2018 bea meterai menyumbang pendapatan negara sebesar Rp 5,46 triliun di mana meningkat 7,48 persen dari tahun 2017 yang sebesar Rp 5,08 triliun.
Hatari menegaskan bahwa bea meterai sekaligus tarifnya tak relevan lagi dengan perkembangan teknologi, ekonomi, dan informasi saat ini.
Ia pun mengatakan rencana revisi UU Bea Meterai akan memberikan kepastian hukum untuk transaksi, perjanjian kerja sama, dan lain sebagainya yang dilakukan melalui dunia digital.
“Selain menambah potensi pendapatan negara, UU Bea Meterai juga bagus untuk memberikan kepastian hukum,” tegas Hatari.
Di dalam kesempatan yang sama Kepala Seksi Peraturan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Kemenkeu, Rusito mengatakan revisi UU Bea Meterai akan mengatur tarif tetap dan tarif advalorem.
Di samping itu objek bea meerai akan ditambahkan serta dijabarkan lebih rinci terutama terkait akta notaris dan surat berharga.
Selain itu dalam rencana RUU Bea Meterai itu akan dilakukan simplifikasi terhadap struktur tarif bea meterai yang masih multilayer.
“Satu aturan yang akan disederhanakan adalah batasan nominal dokumen yakni Rp 5 juta, jika dokumen yang akan dikenakan bea meterai di atas nilai tersebut akan bebaa bea meterai. Simplifikasi tersebut akan meningkatkan penerimaan.”
“Dengan adanya simplifikasi tersebut yang akan mengalami beban terbesar adalah kelompok bawah dan menengah. Untuk itu perlu dilakukan kenaikan threshold bagi dokumen yang terutang bea meterai,” kata Rusito.
Sementara itu Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menegaskan adaptasi atau pengenanaan bea meterai perlu instrumen yang dikenakan pajak secara rinci.
Menurutnya pengenaan bea meterai digital perlu harmonisasi regulasi dan efektivitas siatem administrasi.
“Tarif bea meterai sebenarnya tak berdampak signifikan bagi ekonomi, tapi berdampak psikologis dan sosial besar karena situasi politik dan ekonomi sehingga perlu ditinjau ulang,” terangnya.
Yustinus pun mengingatkan bahwa penerapan bea meterai yang akan ditentukan tersebut perlu diawasi secara efektif untuk mencegah penyalahgunaan yang bisa membuat tujuan pengenaan bea meterai, terutama bea meterai digital tak melenceng.
Ia pun menerangkan bahwa pengenaan pajak atas dokumen di negara lain sudah dimasukkan dalam stamp duty yang merupakan pajak langsung yang dikenakan kepada semua dokumen keuangan.
“Meski pun demikian keabsahan bea meterai di Indonesia sudah dilakukan sejak masa kolonial yakni tahun 1817,” pungkasnya.