Poin lainnya yang dinilai akan melumpuhkan kerja KPK adalah tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.
"Sembilan Persoalan di draf RUU KPK berisiiko melumpuhkan Kerja KPK," ujar Agus Rahardjo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).
Berikut 9 poin dalam draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK:
1. Independensi KPK Terancam
• KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun
• KPK dijadikan lembaga Pemerintah Pusat
• Pegawai KPK dimasukan dalam kategori ASN sehingga hal ini akan beresiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan
2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
• Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas. Sementara itu, Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya
• Selama ini penyadapan seringkali menjadi sasaran yang ingin diperlemah melalui berbagai upaya, mulai dari jalur pengujian UU hingga upaya revisi UU KPK
• Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan dilakukan secara tertutup. Sehingga bukti-bukti dari Penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi
• Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. Padahal dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang. Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang
• Polemik tentang Penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan Penyadapan
3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR