TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya tak terima Indonesia dituding menjadi penyebab tunggal munculnya asap kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) di Malaysia.
Untuk itu, dia berencana mengirimkan surat protes ke Duta Besar Malaysia.
"Saya akan menulis surat kepada Dubes (Malaysia) untuk diteruskan kepada Menterinya. Jadi saya kira supaya yang betul datanya," ujar Siti di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (10/9/2019) seperti dikutip dari artikel Kompas.com berjudul "Bantah RI Penyebab Tunggal Kabut Asap, Menteri Siti Protes Malaysia".
Siti menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia terus memantau pergerakan asap karthutla.
Baca: Empat Korporasi Jadi Tersangka Kebakaran Hutan dan Lahan
Menurut dia, berdasarkan hasil rapat dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kabut asap sempat melintasi batas Indonesia hanya satu jam yakni pada Minggu (8/9/2019).
Siti menilai ada informasi yang ditutupi oleh Malaysia soal persoalan asap karhutla. Dia menyebut bahwa asap karhutla juga berasal dari wilayah Malaysia sendiri, seperti Serawak dan Semenanjung Malaya.
"Asap yang masuk ke Malaysia, ke Kuala Lumpur, itu dari Serawak kemudian dari Semenanjung Malaya, dan juga mungkin sebagian dari Kalimantan Barat. Oleh karena itu seharusnya obyektif menjelaskannya," kata dia.
Dia pun meminta agar Malaysia menyajikan data yang tepat soal kabut asap yang menyelimuti wilayahnya.
Ia meminta Malaysia tak hanya menyalahkan Indonesia sebagai penyebab tunggal kabut asap.
"Karena pemerintah Indonesia betul-betul secara sistematis mencoba menyelesaikan ini dengan sebaik-baiknya. Tetapi memang harus jelas sumber dari mana, data dari mana. Polanya seperti apa," jelasnya.
Malaysia gusar
Malaysia tengah mempersiapkan untuk membuat hujan buatan setelah kualitas udara di sejumlah negara bagian mencapai level yang tidak sehat.
Hal tersebut akibat adanya kabut asap yang datang dari kebakaran hutan yang terjadi di negara tetangganya, Indonesia.
Kabut asap akibat kebakaran hutan telah rutin menyelimuti sebagian negara di Asia Tenggara setiap musim kemarau, baik lantaran aksi pembukaan lahan, maupun karena faktor alami.