TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, Pemilihan Pimpinan KPK dan Ketua KPK oleh Komisi III DPR RI berakhir anti klimaks.
"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk bertanggung jawab dan menepati janji politiknya untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (13/9/2019).
Selain itu, ICW mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk kian memperkuat pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar KPK tetap berjalan sesuai dengan harapan publik.
ICW juga mendorong agar para pegawai KPK dan seluruh jajarannya membangun soliditas untuk memperkuat sistem pengawasan internal dan kapasitas organisasi agar Pimpinan KPK terpilih tidak mudah melakukan kesewenang-wenangan.
"Kami mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk makin memperkuat kerjasama dan sinergi untuk terus mendesak pemerintah agar agenda pemberantasan korupsi tidak dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan," ungkap Kurnia Ramadhana.
ICW menyebutkan, sebagaimana yang telah diprediksi sejak awal, Komisi III DPR RI akan memilih calon Pimpinan KPK yang sesuai dengan ‘selera politik’ mereka, meskipun hal itu harus dengan mengabaikan berbagai catatan negatif terkait dengan calon Pimpinan KPK tertentu.
Lebih lanjut, ICW menyebut sejatinya sinyal komposisi Pimpinan KPK yang baru saja terpilih sudah menguat sejak di Panitia Seleksi Capim KPK.
Itu artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar.
"Dengan kondisi seperti hari ini, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan awalnya, yakni menciptakan pemerintahan yang sepenuhnya bersih dan bebas dari KKN," terang dia.
Baca: Anies Baswedan: Belajar yang Rajin, Biar Kalau Besar Kamu Pintar Seperti Pak Habibie. . .
ICW mengatakan, setidaknya terdapat 3 (tiga) isu besar jika melihat komposisi Pimpinan KPK terpilih. Pertama, terkait rekam jejak buruk di masa lalu.
Salah seorang figur yang dipilih oleh DPR merupakan pelanggar kode etik, hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu.
Bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik.
Kedua, masih terdapat Pimpinan KPK terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK.
Padahal ini merupakan mandat langsung dari UU No 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016. Akan tetapi persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi.
Ketiga, tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini.
Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia.
Namun masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas.
Apalagi kemudian, langkah paralel DPR RI dan Pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, dimana masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali.
Seluruh calon Pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai Pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK.
Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi.
ICW menyatakan, sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/ 1998, pelemahan terhadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.
Sebut Gerakan Politik
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggelar konferensi pers untuk menyatakan Irjen Firli Bahuri melakukan pelanggaran etik berat.
Fahri mempertanyakan kenapa pelanggaran etik ini tak diumumkan KPK sejak dulu. Menurut dia, ‘vonis’ yang disampaikan sehari sebelum Firli menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai Capim KPK itu semakin menunjukkan bahwa KPK sudah berpolitik.
“Habis sudah KPK. Semakin kentara sebagai gerakan politik,” ujar Fahri saat dihubungi, Kamis (12/9/2019).
Menurut politisi PKS ini, sikap KPK terhadap Firli ini mirip dengan sikap lembaga antirasuah tersebut kepada Jenderal Budi Gunawan dulu.
Awal 2015 lalu, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi begitu sang jenderal dipilih Presiden Jokowi sebagai Calon Kapolri.
“Kasus Budi Gunawan kembali terulang. KPK sangat benci dengan Polri. Dulu, Budi Gunawan dengan begitu meyakinkannya dituduh dan difitnah, padahal sedang di fit and peoper test di DPR,” kata Fahri.
Padahal, kata Fahri, penetapan tersangka oleh KPK terhadap Budi Gunawan tersebut akhirnya tidak sah dan dibatalkan oleh Pengadilan Jakarta Selatan.
“Dengan pembeberan barang bukti yang dramatis, tapi akhirnya omong kosong dan kalah di praperadilan,” kata Fahri.
“Sekarang kasus itu terulang kepada Firli,” sambungnya.
KPK sebelumnya menyatakan, mantan Deputi Pendindakan KPK, Irjen Firli Bahuri telah melakukan pelanggaran etik berat.
Penasihat KPK Muhammad Tsani Annafari mengatakan, Firli dinyatakan melakukan pelanggaran hukum berat melalui musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.
"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019).
Tsani mengatakan, pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli itu berdasarkan tiga peristiwa.
Peristiwa pertama, pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuang Guru Bajang (TGB) di NTB pada 12 dan 13 Mei 2018 lalu.
Kemudian, KPK mencatat Firli pernah menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK pada 8 Agustus 2018. Setelah itu, KPK mencatat Firli pernah bertemu dengan petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.
Laporan Reporter: Vendi Yhulia Susanto/Ihsanuddin
Sebagian artikel ini tayang di Kontan dengan judul ICW: Pemilihan pimpinan KPK berakhir antiklimaks