Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah.
Perubahan undang-undang tersebut diduga Indonesia Corruption Watch (ICW) terjadi karena banyaknya anggota DPR yang menjadi tersangka kasus korupsi.
“Sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Minggu (15/9/2019).
“Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniwan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” jelas Kurnia Ramadhana.
Kurnia Ramadhana menjelaskan, 23 anggota DPR masa bakti 2014-2019 yang ditetapkan sebagai tersangka berasal dari ragam partai politik.
Baca: Ade Yasin Menjadi Narasumber Dalam Pendidikan Kader Ulama Angkatan XIII
Bahkan hampir seluruh fraksi yang ada di DPR telah tersandung perkara korupsi.
Menurut catatan ICW rinciannya sebagai berikut:
Partai Golkar 8 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 3 orang, Partai Amanat Nasional (PAN) 3 orang, Partai Demokrat 3 orang, Partai Hanura 2 orang, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1 orang, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1 orang, Partai Nasdem 1 orang, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 orang.
Baca: Ditinggal Penghuninya, Kompor di Rumah Zaenab Meledak, 18 Rumah Tetangganya Ikut Ludes Terbakar
Tak hanya itu, Kurnia juga menyebut, dalam catatan KPK dari rentang waktu 2003-2018 setidaknya 885 orang yang telah diproses hukum.
Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari dimensi politik.
“Atas narasi di atas maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan,” katanya.
Karena itu, ICW menegaskan, agar DPR segera menghentikan pembahasan revisi UU KPK.
Baca: Ammar Zoni Tak Lagi Cemburuan Setelah Irish Bella Mantap Berhijab
Karena akan jauh lebih bijaksana jika DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi.
“Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai,” kata Kurnia.
4 poin yang ditolak Jokowi
Presiden Jokowi mengungkapkan empat poin yang tidak disetujui dirinya atas beberapa poin substansi dalam draf RUU KPK.
"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK" ujar Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019) yang didampingi oleh Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Baca: Meski Ditolak 500 Pegawai KPK, Irjen Filri Bahuri Terpilih Jadi Ketua KPK, Ini Daftar Kontroversinya
Pertama, Jokowi menyatakan tak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar saat ingin melakukan penyadapan.
Menurutnya, KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
Kedua, Jokowi tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
Jokowi menyatakan penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN)
"Yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. Tentu saja harus melalui prosedur rekurtmen yang benar," imbuhnya.
Ketiga, Jokowi mengatakan tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan.
Menurut dia, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Baca: 5 Nama Pemimpin KPK Periode 2019-2023 yang Terpilih, Termasuk yang Ditolak 500 Pegawai KPK
Keempat, Jokowi menyatakan tidak setuju apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari lembaga antirasuah dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lainnya.
"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tegasnya.
Revisi UU KPK dikebut
Pemerintah dan DPR mengebut pembahasan sejumlah revisi undang-undang dipenghujung masa keanggotaan DPR 2014-2019.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menggelar rapat dengan badan legislasi, pada Kamis malam, (12/9/2019).
Yasonna mengatakan bahwa rapat untuk menggkordinasikan perwakilan pemerintah dengan DPR dalam membahasa sejumlah revisi. Ia membantah bahwa Rapat digelar untuk mengebut pembahasan revisi.
"Surpres (RUU KPK) tidak perlu diparipurnakan, dibamuskan boleh. Bamus (Badan Musayawarah) DPR menunjuk siapa yang bertanggung jawab soal ini ya udah," kata Yasonna.
Baca: Presiden Trump : Habibie Menjadikan Indonesia Negara Demokrasi yang Hebat
Baca: Ceritakan Momen Terakhir Sebelum BJ Habibie Wafat, Farrah Habibie: Pas Banget Semua Cucu Berkumpul
Ada 3 RUU yang yang dibicarakan antara Menkumham, Mendagri, dengan DPR RI untuk segera dibahas. 3 RUU tersebut yakni, Revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) , Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dan revisi UU tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Revisi undang-undang yang terkahir memungkinkan DPR melanjutkan pembahas revisi yang belum rampung pada periode sekarang ke periode selanjutnya, tanpa memulai dari awal (Carry over).
"Kami tegaskan kembali pada prinsipnya kami menyambut baik dan siap membahas usul DPR atas rancangan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam rapat-rapat berikutnya," katanya.
Yasonna enggan menjawab saat ditanya terkait kebersediaan pemerintah mengebut Revisi Undang-undang KPK, yang beberapa poin di dalamnya terkait pembentukan Dewan Pengawas, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada di cabang eksekutif, serta sistem kepegawaian KPK dan pelaksanaan penyadapan.
"Nanti dengar saja itu," pungkas Yasonna.
Dalam rapat antara pemerintah dan DPR telah disepakati bahwa Ketua Panja Revisi Undnag-undang KPK, adalah politikus Gerindra yang merupakan Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas.