"Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," tutur dia.
Ia pun menegaskan bahwa dirinya menolak segala bentuk pembunuhan karakter yang ditujukan kepadanya.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak dapat menangani konflik berkepanjangan di Papua. Maka dari itu, pemerintah mencari kambing hitam, yaitu dirinya.
"Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua," ungkap Veronica.
Tak hanya terhadap dirinya, Veronica mengatakan kriminalisasi tersebut juga menimpa orang Papua lainnya.
Kriminalisasi itu, katanya, seolah ingin mengaburkan aspirasi masyarakat Papua yang melakukan aksi.
Tuduhan Tak Lapor Pertanggungjawaban Beasiswa
Polda Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa Veronica pernah mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah pada 2017 untuk studi pascasarajana (S2) bidang hukum.
Namun, menurut Kapolda Jawa Timur Irjen (Pol) Luki Hermawan, Veronica tidak pernah membuat laporan pertanggungjawaban sebagaimana umumnya mahasiswa yang memperoleh beasiswa sejak tahun 2017.
Veronica mengakui ia terlambat memberi laporan studi kepada institusi pemberi beasiswa. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan itu telah selesai pada 3 Juni 2019.
"Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya," ucap dia.
Veronica mengaku memiliki hubungan yang dingin dengan institusi pemberi beasiswa.
Alasannya, ia dilaporkan kepada pemberi beasiswa dengan tuduhan mendukung gerakan separatisme di sebuah acara.
Veronica menceritakan, pihak yang melaporkannya adalah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia.