TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah poin dalam draf revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai kontroversi.
Sejumlah elemen masyarakat sipil menilai revisi bisa melemahkan KPK.
DPR meyakini revisi justru akan memperkuat KPK dalam menjalankan tugasnya. Salah satu poin dalam draf RUU yang menjadi pro kontra adalah memberikan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang selama ini tidak dimiliki lembaga antirasuah itu.
Pasal 40 UU nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, 'Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.'
Sementara dalam draf revisi UU yang diusulkan DPR, Pasal 40 UU KPK diubah menjadi:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
(4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Mereka yang kontra revisi UU KPK menganggap tanpa kewenangan SP3, KPK berhati-hati dalam meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangka.
Untuk meningkatkan status ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangka tidak cukup bagi KPK hanya dengan dua alat bukti saja.