Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengaku khawatir dengan independensi pegawai KPK setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan DPR.
Berdasarkan Undang-Undang KPK hasil revisi yang baru disahkan DPR, pegawai KPK akan berstatus menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Laode khawatir dengan status pegawai KPK menjadi ASN akan melunturkan independensinya dalam pemberantasan korupsi.
"KPK tidak alergi untuk status kepegawaiannya tetapi salah satu ciri dari lembaga independen itu adalah kemandirian dari segi SDM dan itu bukan kata-kata saya tapi itu adalah kata-kata di dalam Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies yang biasa disebut Jakarta Principles," ujar Laode di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Baca: Disindir Kumalasari Gara-gara Unfollow dan Crop Fotonya, Ruben Onsu : Kita Berhak Mau Follow Siapa
Baca: Kematian TKW Lily Wahidin di Malaysia Masih Misterius, Diduga Organ Tubuhnya Diambil Paksa
Baca: Pasca Mundurnya Imam Nahrawi, 4 Agenda Penting Menpora Dipastikan Tetap Berjalan
Laode yakin dengan pegawai KPK berstatus independen, pemberantasan korupsi akan lebih kuat dan tidak akan terbentur kepentingan.
"Kalau dia independen maka dia lebih kuat seperti itu. Jadi ini bukan kata-kata saya dan ini sayang sekali karena Jakarta Principles ini telah diikuti banyak negara di dunia," ujarnya.
Jika nantinya status pegawai KPK tak lagi independen, Laode berharap proses seleksi pegawai tetap menjadi kewenangan KPK.
"Kalaupun ini tidak bisa terelakkan harus dikonversi ke dalam aparatur sipil negara maka kita berharap bahwa proses rekrutmen, training, promosi, mutasi, demosi harus tetap dalam kontrol KPK," katanya.
DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan Undang-Undang tentang perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu perubahan dalam UU KPK tersebut mengatur tentang status kepegawaian KPK.
Pasal 24 UU KPK mengatur pegawai KPK merupakan anggota Korps Profesi Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Minta KPK dibubarkan
Kepada Tribunnews.com, Ray Rangkuti menilai sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditiadakan setelah Undang-Undang (UU) KPK hasil revisi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (17/9/2019).
Karena tujuh poin perubahan dalam UU KPK hasil revisi itu tidak ada yang lebih mendorong penguatan lembaga antirasuah.
"Dengan desain seperti saat ini, sebaiknya KPK ditiadakan. Tujuh poin hasil UU ini, tak ada yang lebih mendorong KPK untuk lebih kuat dalam menegakan hukum bagi para koruptor," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Rabu (18/9/2019).
Memang kata dia, semua kewenangan istimewa KPK tidak dicabut. Tapi dibuat rumit, penuh birokrasi dan tumpang tindih.
Batasan kasus dua tahun dan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga membuat kesinambungan untuk melakukan penyidikan atas satu kasus bisa terhenti.
Dalam UU KPK hasil revisi, seseorang yang kasusnya telah ditangani sampai dua tahun tapi tak jua naik kepenuntutan punya dasar yang kuat untuk meminta kasusnya dihentikan.
Ray Rangkuti menegaskan tak jelas dasar dari aturan SP3 ini.
Baca: Begini Sindiran Anies Soal Satgas Pemadam Karhutla yang Ditolak Pemprov Riau
"Jika SP3 diberikan kepada yang telah meninggal dunia, atau mereka yang sakit yang tidak dapat lagi diharapkan sembuhnya masih dapat dipahami," jelasnya.
"Tapi SP3 karena batas waktu itu aneh bin ajaib," ujarnya.
Dengan ketentuan masa penanganan kasus hanya sampai dua tahun, potensi kasus-kasus kakap akan hilang adalah sangat besar.
"Tentu akan jadi pertanyaan seperti apa kelak kasus seperti BLBI, e-KTP, Century, SDA, dan sebagainya. Sebagian kasus itu kemungkinan dah masuk ke tahun kedua atau bahkan lebih," katanya.
Belum lagi soal izin sadap, sita dan geledah yang harus dimintakan kepada Dewan Pengawas.
"Hampir semua administrasi perizinan projustisia berada di tangan Dewas bukan dikomisioner. Lha tugasnya komisioner jadinya apa? Dan dengan begitu, maka KPK sebaiknya dibubarkan" tegasnya.
Dan dengan begitu, menurut dia, KPK sebaiknya dibubarkan. Sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi diserahkan kepada Kepolisian dan Kejagung.
Tentu saja, harus ada perubahan UU kepolisian dan kejaksaan.
"Selain melihat trendnya, di mana komisioner KPK mulai diisi oleh polisi atau jaksa maupun penyidik dan penyelidik, maka mengembalikan pemberantasan korupsi ini dah semestinya kembali ke kepolisian atau kejaksaan," jelasnya.
DPR Sahkan Revisi UU KPK
DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).
"Apakah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disetujui menjadi undang-undang?," tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
"Setuju," jawab seluruh anggota dewan yang hadir.
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat.
Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.
Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.
Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR.
Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9/2019).
7 Poin Revisi UU KPK
Pemerintah dan DPR telah menyepakati seluruh poin atau daftar inventaris masalah ( DIM) RUU KPK.
Terdapat tujuh poin revisi antar Panitia kerja pemerintah dan Panitia kerja DPR RI yang disepakati pada Rapat Senin malam.
Adapun ketujuh poin tersebut:
Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.
Lalu ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Tujuh poin kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut kemudian diterima secara utuh oleh tujuh Fraksi DPR, diantaranya Fraksi PDI, Golkar, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Hanura.
Dua Fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan, yakni soal Dewan Pengawas KPK. Sementara itu satu Fraksi lainnya yakni Demokrat belum memberikan tanggapannya.
"Sehingga 7 fraksi menerima itu secara utuh. Jadi itulah dinamika yang terjadi dalam rapat kerja semalam, bahwa fraksi partai Gerindra dengan fraksi partai keadilan sejahtera belum bisa menerima secara utuh menyangkut revisi UU KPK ini karena berkaitan dengan mekanisme pemilihan dari dewan pengawas," ujar Supratman, Selasa, (17/9/2019).