TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat diharapkan tetap mengawasi proses kelanjutan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR kendati Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menunda pengesahan rancangan undang-undang tersebut.
Sebab, RKUHP dapat bernasib sama seperti RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan secara kilat dan senyap.
"Masyarakat harus terus awasi dan kawal RKUHP ke depan. Sebab, istilah yang digunakan saat revisi Undang-undang KPK pada tahun 2017, itu sama penundaan. Tapi, (belum lama ini) revisi UU KPK begitu saja masuk dalam pembahasan meskipun tidak dicantumkan di prolegnas prioritas. Tidak ada dengar pendapat, dibahas dengan tertutup, diparipurnakan tanpa kuorum," ujar pengamat politik Ray Rangkuti saat dihubungi, Sabtu (21/9/2019).
"Nah, situasi yang sama sangat mungkin terjadi esok hari dalam rangka revisi KUHP ini," imbuhnya.
Menurut Ray, keputusan Presiden Jokowi meminta DPR untuk menunda pengesahan RKUHP tidak lepas karena makin besarnya aksi unjuk rasa penolakan dari kelompok mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
Namun, saat masyarakat lengah karena teralihkan isu tertentu, dimungkinkan pemerintah bersama DPR kembali melanjutkan pembahasan RKUHP untuk selanjutnya disahkan menjadi undang-undang.
Baca: Kembali Dipanggil Presiden Joko Widodo, Adian Napitupulu Justru Minta Ampun Soal Jabatan Menteri
Baca: Gempa Bumi Berkekuatan Magnitudo 6,4, Minggu (22/9/2019) Guncang Maluku, Ini Penjelasan BMKG
Hal itu telah terjadi saat DPR bersama pemerintah mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
"Agar tidak terpana lagi seperti sebelumnya, yang justru memudahkan presiden dan DPR membawa hasil revisi ke paripurna. Intinya, jangan sampai masyarakat luput lagi," ujar pendiri Lingkar Madani (Lima) itu.
Sementara itu, Wakil Presiden terpilih sekaligus orang yang akan mendampingi Jokowi pada pemerintahan selanjutnya, Ma'ruf Amin mempersilakan siapa saja untuk tidak sepakat atau menolak RKUHP.
Namun, diharapkan hal itu disampaikan melalui jalur konstitusional, yakni uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Misalnya bagi mereka yang tidak setuju, bisa menggugat melalui juduicial review di Mahkamah Konstitusi," kata Ma'ruf.
Pada Jumat kemarin, Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda kelanjutan pembahasan dan pengesahan RKUHP kepada DPR.
Padahal, dalam rapat terakhir antara DPR dan pemerintah telah sepakat untuk mengesahkan RKUHP tersebut dalam Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2019.
Jokowi mengaku keputusannya diambil setelah mendengar banyak masukan dari sejumlah pihak dan dinamika di lapangan.
Selain itu, keputusan ini juga dikarenakan masih banyaknya materi yang bermasalah dalam RKUHP. Dia mencatat ada 14 pasal bermasalah dalam RKUHP itu.
Keputusan itu disampaikan Presiden Jokowi sehari setelah adanya gelombang unjuk rasa dari mahasiswa di depan Gedung DPR RI.
Baca: Airlangga Bertemu Pejabat Partai Komunis China, Bahas Investasi dan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Kelompok mahasiswa menolak RUU KPK dan RKUHP karena prosesnya yang janggal, lebih mementingkan kepentingan tertentu dan mengancam demokrasi di Indonesia.
Terkait dengan polemik RUU Pemasyarakatan yang dinilai mempermudah pembebasan bersyarat koruptor, Jokowi memilih menolak berkomentar banyak.
"Saat ini saya masih fokus pada RUU KUHP. Yang lain menyusul karena ini yang dikejar oleh DPR kurang lebih ada empat (RUU)," kata Jokowi sebelumnya.
Jauh hari sebelum kelompok mahasiswa turun ke jalan, para pimpinan dan pegawai KPK lebih dulu menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah.
Penolakan kembali dilakukan setelah DPR mengesahkan RUU KPK pada Selasa, 17 September 2019.
Sebab, seluruh materi yang dibuat dalam RUU KPK tersebut tanpa meminta masukan dari lembaga KPK serta dilakukan secara cepat dan senyap.
Selain itu, RUU KPK yang disahkan oleh DPR lebih banyak menghilangkan kewenangan penindakan KPK dan mengalihkannya kepada Dewan Pengawas bentukan presiden.
Standar Ganda
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Presiden Jokowi menerapkan standar ganda dalam menyikapi polemik Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU KPK.
Diduga standar ganda ini dilakukan karena ada perbedaan kepentingan elite politik terhadap dua RUU ini.
Feri menyebut RKUHP tak berkaitan langsung dengan kepentingan Presiden dan rekan-rekannya di Senayan.
Sementara, untuk revisi UU KPK, para elite politik memang memiliki kepentingan untuk melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.
Apalagi, belakangan DPR dan pemerintah juga sudah menyepakati revisi UU Pemasyarakatan yang mempermudah pembebasan bersyarat napi koruptor.
"Semua satu paket untuk menyelamatkan koruptor," kata Feri.
Feri juga mencurigai penundaan RKUHP ini adalah upaya untuk meredam agar masyarakat tak lagi mempermasalahkan revisi UU KPK dan UU Pemasyarakatan.
Padahal, dua RUU ini lah yang menjadi paket utama untuk melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi.
"Jika sudah ditunda RUU KUHP diharapkan masyarakat bisa menerima bahwa presiden mengalah," ujarnya.
Oleh karena itu, Feri meminta masyarakat untuk tidak cepat puas dan terus mengawal proses revisi UU Pemasyarakatan yang saat ini sudah tinggal menunggu proses pengesahan.
Ia meminta pasal yang mempermudah pembebasan bersyarat napi koruptor dihilangkan dari UU Pemasyarakatan.
Ia juga mendesak Presiden mencabut UU KPK yang sudah disahkan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
"Harus diingat bahwa menunda (pengesahan) KUHP tidak berarti kealpaan dalam revisi UU KPK termaafkan," ujarnya. (tribun network/mal/rez/coz)