Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) Risyanto Suanda sebagai tersangka kasus dugaan suap kuota impor ikan tahun 2019.
Ia diduga menerima suap sebesar USD 30 ribu atau sekitar Rp 423 juta.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, suap tersebut diterima Risyanto dari Direktur PT Navy Arsa Sejahtera (NAS) Mujib Mustofa.
Mujib Mustofa pun kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Baca: Polisi Lepaskan Gas Air Mata, Mahasiswa di Jalan Gerbang Pemuda Bertumbangan
Baca: Naik Kereta Semi Cepat Jakarta-Surabaya, Penumpang Harus Bayar Rp 400 Ribuan
Baca: Viral Video Penumpang Stasiun Kompak Tepuk Tangan untuk Mahasiswa yang Padati Stasiun Manggarai
Pemberian suap terkait kuota impor ikan frozen pacific mackerel atau ikan salem beku seberat 250 ton.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka dugaan suap terkait dengan kuota impor ikan tahun 2019," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Saut mengatakan, penetapan tersangka tersebut merupakan tindak lanjut kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Tim Satuan Tugas (Satgas) KPK di Jakarta dan Bogor pada Senin (23/9/2019).
Total, tim berhasil mengamankan sembilan orang, termasuk kedua tersangka.
Dalam operasi senyap tersebut KPK menyita barang bukti berupa uang USD 30 ribu.
Baca: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tolak Gugatan Praperadilan MAKI Terkait Kasus Century
"Dalam kasus ini, KPK menemukan adanya dugaan alokasi fee Rp1.300 untuk setiap kilogram frozen pacific mackarel (ikan salem beku) yang diimpor ke Indonesia," tuturnya.
Atas perbuatannya, Risyanto Suanda disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Mujib Mustofa disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ditangkap saat rapat
Tiga Direksi Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (23/9/2019).
Ketiganya ditangkap saat tengah menggelar rapat di Bogor.
“Saya tidak tahu persis ya rapat apa di Bogor, tapi memang ada kegiatan rapat di Bogor dan kami amankan sejumlah direksi dan pegawai perum perindo dari sana,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (24/9/2019).
Selain menangkap para terduga pelaku rasuah, kata Febri, tim Penindakan KPK juga menyita uang sebanyak USD 30.000 atau setara Rp 400 juta lebih dari lokasi tersebut.
Uang itu diduga fee untuk para Direksi Perum Perindo.
“Ketika transaksi terjadi kami amankan uang sekitar USD 30.000 itu dari pihak pemberi dan perantara. Diduga itu diperuntukkan untuk pejabat di BUMN,” kata Febri.
Perum Perindo merupakan BUMN yang bergerak di bidang perikanan.
Baca: Hendak Demo ke Gedung DPR, Mahasiswa dari Semarang Tertahan 6 Jam di Brebes Akibat Bus Ditilang
Baca: Lokasi Ibu Kota Baru RI di Kalimantan Timur, KLHK Ingatkan Bangun Ibu Kota Negara Jaga Hulu Demi Air
Berdasarkan situs resmi www.perumperindo.co.id, Perum Perindo memiliki tiga direksi yakni Direktur Utama (Dirut) Risyanto Suanda, Direktur Keuangan Arief Goentoro dan Direktur Operasional Farida Mokodompit.
KPK menangkap sembilan orang di Jakarta dan Bogor, tiga di antaranya merupakan Direksi Perum Perindo. Kesembilan orang itu ditangkap saat tengah melakukan transaksi rasuah terkait impor ikan.
Belum dijelaskan detail kasus suap yang melibatkan kesembilan orang tersebut. Informasi lengkap akan disampaikan dalam konferensi pers hari ini.
Kesembilan orang yang dicokok sudah berada di Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan intensif. Saat ini, KPK memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum kesembilan orang tersebut.