Moeldoko menyebutkan, demo bukan persoalan yang haram bagi pemerintah. Namun, Presiden BEM UGM: Nggak haram kok temen kita ditahan?
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyebutkan bahwa demo bukanlah persoalan yang haram bagi pemerintah.
Mendengar hal itu, Presiden BEM KM UGM, Atiatul Muqtadir, menanyakan mengenai alasan penahanan teman-teman mahasiswa di kepolisian.
Dialog ini disampaikan dalam acara Mata Najwa pada Rabu (26/9/2019).
Dalam acara tersebut, hadir sembilan bintang tamu.
Baca: Undang Bamsoet ke Mata Najwa Temui Mahasiswa, Najwa Shihab: Jangan Khawatir, Tidak Ada Gas Air Mata
Baca: Hadir di Mata Najwa Malam Ini, Ini Komentar Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah
Mereka adalah Presiden BEM KM UGM Atiatul Muqtadir, Presiden KM ITB Royan Abdullah Dzaky, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.
Hadir pula Ketua Umum YLBHI Asfinawati, Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Jentera Bivitri Susanti, Anggota Komisi III DPR sekaligus Anggota Baleg Arsul Sani, dan Anggota Tim Perumus KUHP dan Guru Besar Hukum UGM Prof Edward Omar Sharif Hiariej.
Acara yang tayang pukul 20.00 WIB di Trans 7 tersebut mengusung tema Ujian Reformasi.
Hal ini disampaikan Najwa melalui unggahan di akun Instagram @matanajwa pada Rabu (25/9/2019).
"Gelombang aksi mahasiswa di berbagai kota hari-hari ini. Ribuan turun ke jalan, suarakan tuntutan dengan tajuk bertagar #ReformasiDikorupsi."
"Unjuk rasa mahasiswa tegas menolak pelemahan sistem pemberantasan korupsi dan sejumlah RUU problematik yang dinilai tak berpihak pada rakyat."
"Mahasiswa juga menuntut pemerintah untuk menuntaskan masalah rasisme Papua, pembakaran hutan Kalimantan & Sumatera, dan masalah pelanggaran HAM."
"Gaung #ReformasiDikorupsi terus bergema, akankah pemerintah & anggota dewan mendengar seruan rakyat? Bagaimana mahasiswa bersama elemen masyarakat mengawal penentuan kebijakan ke depan?
#MataNajwa: "Ujian Reformasi". Malam ini LIVE 20.00 WIB di @TRANS7," tulis Mata Najwa.
Dalam sebuah sesi, Moeldoko menanggapi perihal pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, yang menganggap bahwa demo mahasiswa sejak 23 September 2019 lalu sudah tidak relevan.
Moeldoko mengatakan, pertemuan Presiden, ketua DPR, dan ketua fraksi telah mencapai beberapa kesepakatan mengenai RUU yang dituntut.
Menurut Moeldoko, pertemuan tersebut menerima pendapat para mahasiswa untuk ditunda pengesahannya.
Sehingga, demo mahasiswa dianggap tidak relevan karena apa yang dituntut sudah disetujui.
Moeldoko juga menyampaikan rasa hormatnya kepada para mahasiswa.
"Saya salut dengan demo mahasiswa. Logistiknya transparan, mandiri, dan tidak terpengaruh tema yang lain," ujar Moeldoko, yang disambut tepuk tangan audiens.
Kepala Staf Kepresidenan itu menegaskan, sasaran demo sudah tepat, yakni kepada DPR.
Jika demo menyasar ke Presiden pun, bukan sebuah masalah besar.
"Persoalan demo bukan persoalan yang haram bagi pemerintah. Bahkan, dalam mengelola pemerintahan yang efektif, ada KSP menengah," kata Moeldoko.
"Saya biasa menghadapi temen-temen mahasiswa, hampir berhari-hari. Sebagian kelompok elemen masyarakat datang ke KSP, berdialog, marah, saya dengerin saya catet," ungkapnya.
Dari catatan tersebut, Moeldoko lantas meminta mohon kepada Presiden untuk dijadikan perhatian.
"Eskalasi meningkat, apakah (aspirasi mahasiswa) memang tidak tersampaikan atau tidak mendengar?" tanya Najwa Shihab.
Lantas, Moeldoko menganggap bahwa demo beberapa waktu lalu merupakan ajang nostalgia bagi para mahasiswa.
"Mungkin temen-temen mahasiswa nostalgia juga kali, karena sekian lama nggak pernah ketemu kan begitu," kata Moeldoko.
Najwa Shihab pun merespons dengan cepat apa yang disampaikan Moeldoko itu.
"Hanya nostalgia nih Pak Moel dinilainya? Saya ingin bertanya, ini hanya nostalgia sajakah, teman-teman mahasiswa? Ada kesan merendahkan perjuangan mahasiswa ini, kok hanya dibilang nostalgia? Saya tidak tahu, saya ingin tanya," ujar Najwa Shihab yang kemudian mempersilakan mahasiswa yang menjadi bintang tamu untuk menjawab.
"Bukan, bukan merendahkan, karena sekian lama mereka tidak turun ke lapangan, begitu," jawab Moeldoko.
Tiba-tiba, Fahri Hamzah ikut menanggapi.
"Dulu ada buku Pesta dan Cinta, itu biasa," ujar Fahri Hamzah.
"Biasa? Jadi suara-suara ini biasa?" cecar Najwa Shihab.
Lantas, Najwa Shihab kembali memberikan waktu untuk Atiatul atau Royan memberikan respons.
Atiatul Muqtadir atau Fathur lah yang menjawabnya.
"Agak salah atau agak kurang update ya berarti, Pak Moeldoko sama bung Fahri. Karena kalau lihat sebenarnya aksi-aksi mahasiswa itu terjadi tiap tahun," ujar Fathur.
Dengan sigap, Moeldoko menanggapi perkataan Fathur.
"Ya tapi skalanya ini kan skala besar, ini baguslah," kata dia.
Mendengar hal itu, Fathur tegas menjawab.
"Artinya, peningkatan kuantitas dan kualitas tuntutan dari aksi mahasiswa ini sejalan dengan menurunnya pengelolaan pemerintah," jelas Fathur.
Perkataannya pun sontak mendapat tepuk tangan dari audiens.
Ia kembali melanjutkan.
"Dan tadi Pak Moeldoko menyampaikan, demo bukan haram. Kok temen-temen kita sekarang lagi ditahanin di kepolisian? Bahkan ada yang lagi makan di satu restoran di-sweeping kayak gitu? Katanya nggak haram, kok ditahan?" tanya Fathur.
Kemudian, Moeldoko memberikan tanggapan.
Menurut Moeldoko, ia sangat memahami situasi psikologi pelaku demo dan aparat.
Situasi psikologi yang dimaksud adalah ketika pendemo mulai lapar, haus, tuntutannya belum ada keputusan, maka tensi akan meningkat.
Mereka akan kelelahan dan menjadi tak terkontrol.
Oleh karena itu, pada jam-jam tertentu, titik kulminasi dapat terjadi.
Begitu pula dengan aparat.
"Sama seperti itu, aparat juga manusia bung, bukan dewa dia. Punya titik kulminasi juga. Ini yang harus dipahami," respons Moeldoko.
Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru, turut menanggapi pemaparan Moeldoko.
Haris mengatakan, ada Prosedur Tetap (Protap) dari kepolisian tentang penanggulangan tindakan anarkistis.
Dalam protap tersebut, ada eskalasi dari standar internasional yang digunakan tentang penanggulangan demonstrasi.
Namun, Haris mengungkapkan, dirinya tidak menemukan itu pada penembakan gas air mata Selasa (24/9/2019) silam.
"Menurut saya, justru itu titik mulai yang membuat mahasiswa marah dan naik ke atas mobil polisi, bukan karena mahasiswa naik mobil baru direpresi," kata Haris.
Selain itu, Haris mengaku, dirinya sependapat dengan apa yang dikatakan Moeldoko tentang pembacaan situasi psikologi.
Namun, situasi di lapangan justru tidak menunjukkan hal tersebut.
"Sweeping, ada yang di Benhil, rumah makan, apakah makan dilarang dalam republik ini?" ucap Haris.
Haris mengungkapkan, dirinya sependapat jika para mahasiswa yang menjadi saksi tidak perlu didampingi di kantor polisi.
Namun, dirinya tak setuju jika kuasa hukum yang akan menjenguk tidak boleh mendampingi di kantor polisi.
"Info mahasiwa dipukuli, wartawan nggak boleh meliput, digebuki, kita perlu klarifikasi," ujarnya.
Lantas, Najwa Shihab menanyakan kesimpulan dari penuturan yang disampaikan oleh Haris.
"Saya pertama-tama mau bilang, Alhamdulillah terima kasih mahasiswa, alarm demokrasi kita hidup," jawab Haris, yang disambut tepuk tangan audiens.
"Republik ini utang budi dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Ini merepresentasikan tujuh hal, tidak hanya masalah RUU KUHP," ucapnya.
"Kita ini ngomong Papua dituduh makar, dituduh ISIS bahkan sama Menteri Pertahanan. Bicara soal demonstrasi, katanya ditunggangi. Bicara soal RUU KUHP, dituduh LGBT. Menurut saya kita kok nggak maju? Ini kan ujian reformasi, bisa gagal ujian kita," jelas Haris.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)