Dalam tiga segmen itu, saya menyoal sejumlah topik penting terkait rekam jejak Tommy dan kasus-kasus korupsi serta pelanggaran HAM yang dilakukan ayahandanya.
Segmen 1 dibuka dengan memperkenalkan Tommy sebagai “dalang pembunuhan Hakim Syaifuddin."
Saya juga mencecar klaim Tommy soal masyarakat merindukan era Orde Baru di segmen ketiga.
Selain Tommy, hadir narasumber lain seperti Priyo Budi Santoso sebagai Sekjen Partai Berkarya.
Saya juga mengundang Haris Azhar, seorang pegiat HAM, untuk menguji klaim-klaim yang disodorkan Tommy maupun Priyo.
Disinformasi yang disebarkan adalah serangan personal yang jahat.
Tuduhan “antek Orde Baru” sama sekali tidak berdasar karena sikap saya jelas dalam menyangkut warisan-warisan Orde Baru.
Tidak terbilang produk-produk jurnalistik Mata Najwa yang berisi sikap kritis terhadap Orde Baru dan itu juga tercermin dalam episode “Siapa Rindu Soeharto?”
Saya sangat keberatan sikap personal saya sebagai jurnalis dikait-kaitkan dengan keluarga saya.
Selain personal, disinformasi ini juga merupakan serangan terhadap kerja-kerja jurnalistik.
Tidak terbilang cacian terhadap media yang memberitakan topik mengenai revisi UU KPK dan demonstrasi mahasiswa minggu lalu. Saya, Mata Najwa dan Narasi TV tidak sendirian dalam hal ini.
Kritik kepada pers jelas diperbolehkan, bahkan penting, bagi demokrasi, juga bagi pers. Tidak ada pers yang sempurna.
Tetapi jika yang dilakukan adalah serangan personal, ad hominem, apalagi hingga membawa-bawa keluarga, persoalannya menjadi sangat berbeda.
Seseorang menulis serangan kepada saya sebagai kill the messenger.
Saya menghargai pendapat tersebut, kendati sejujurnya saya tidak berpikir sejauh itu karena toh saya masih bisa bekerja dan beraktifitas seperti biasa.