Perusahaan-perusahaan skala besar juga didorong dan diwajibkan untuk membeli hasil koperasi.
"Tapi kebijakan tersebut sekarang berubah. Dan sampai saat ini belum ada pemimpin seperti Pak Harto yang benar-benar komit terhadap koperasi,” ujarnya.
Berbagai pencapaian koperasi pada zaman Soeharto, lanjut dia, membuahkan hasil memuaskan.
Bahkan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) memberikan gelar “Bapak Pembangunan Koperasi” bagi Pak Harto.
Menurut dia, kala itu, visi koperasi justru sudah mengincar target yang lebih luas lagi, yakni menguasai pasar pangan Asia-Pasifik.
Baca: F-PKB Soroti Lima Poin Revisi UU Perkoperasian
Waktu itu, menurut dia, benar-benar telah menjelma menjadi sokoguru (penopang utama) ekonomi rakyat sehingga mampu mengantarkan Indonesia mencapai swasembada pangan dan mengentaskan kemiskinan.
“Jadi sebenarnya swasembada pangan itu sudah kuno, karena Indonesia telah mencapainya pada masa Pak Harto. Bahkan visi koperasi waktu itu lebih besar lagi, mampu menguasai pasar pangan Asia-Pasifik,” kata Subiakto.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kunci Indonesia menjadi negara dengan sistem koperasi terkuat adalah tetap melakukan revisi Undang undang (RUU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Meski telah digunakan, beberapa hal di dalamnya perlu dilakukan perubahan mendasar agar mengikuti perkembangan, baik terkait permodalan, sumberdaya manusia, kelembagaan koperasi, gerakan koperasi hingga pengembangan usaha koperasi.
"Misalnya terkait dengan gerakan koperasi yang ditempatkan sebagai pilar usaha bersama bagi sekelompok individu/lembaga dalam melakukan usaha," kata Tauhid.
Ia menyatakan gerakan koperasi juga perlu mendapat tempat dalam skema pembiayaan perbankan dan non perbankan, termasuk dari sisi program/kegiatan.
"Koperasi seharusnya mendapatkan alokasi yang cukup baik dalam APBN dan tidak hanya berada di satu Kementrian saja, tapi juga tersebar di Kementerian/lembaga lainnya," ujarnya.