TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menghadapi era revolusi industri 4.0, perubahan yang drastis terhadap cara produsen memasarkan produknya kepada pasar menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Kehadiran teknologi digital baru dalam era tersebut membuat generasi milenial semakin terhubung dengan internet.
Wakil Ketua Generasi Optimis (GO) Indonesia Frans Meroga Panggabean, menaruh optimisme terhadap visi Indonesia untuk maju di tahun 2030 sebagai jajaran top 5 negara ekonomi terkuat di dunia.
Salah satu kunci untuk mencapai target tersebut adalah melahirkan gairah baru generasi milenial untuk berkoperasi.
“Itu terjadi karena nilai-nilai koperasi, seperti demokrasi, kesetaraan, keadilan dan lainnya, selaras dengan gaya hidup milenial yang mereka citakan,” ujar Frans dalam keterangannya, Kamis (3/10).
Menurut Frans, milenial merupakan generasi yang menolak bentuk feodalisme dalam politik dan juga pastinya ekonomi.
Baca: RUU Perkoperasian Tak Jadi Disahkan, DPR Carry Over 5 RUU
"Bagi para milenial yang suka gaya hidup demokratis dan egaliter, model startup cooperative akan sangat sesuai. Bentuk koperasi lebih menjawab hal tersebut daripada perseroan di mana pemilik modal berkuasa penuh," kata Frans.
Terlepas dari reputasinya yang masih terseok-seok, koperasi yang bertumpu pada kekuatan anggotanya sebenarnya telah terbukti mampu bersanding dengan kekuatan korporat bermodal besar di berbagai belahan dunia.
"Terlebih jargon 'Berkoperasi Itu Keren' dalam beberapa waktu terakhir sering dikumandangkan oleh GO Indonesia," ujarnya.
Praktisi koperasi dan UMKM ini menjelaskan, kekuatan ekonomi kerakyatan Indonesia yang berbasis pada semangat gotong royong seharusnya mampu menciptakan rasa keadilan bagi ekonomi Indonesia.
"Selain itu diharapkan mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan, serta menghilangkan ketimpangan,” pungkas Frans.
Merespons hal itu, Subiakto Tjakrawerdaya, mantan Menteri Koperasi Indonesia pada tahun 1993 hingga tahun 1998, memaparkan fondasi koperasi sebenarnya telah ditanamkan secara konsisten di zaman Soeharto.
Baca: Koperasi Diharapkan Wujudkan Kota Bogor Sejahtera
Terbukti, koperasi mampu tumbuh pesat karena tingginya komitmen pemimpin pemerintahan.
“Pak Harto benar-benar melaksanakan cita-cita Bung Hatta. Seperti penyaluran pupuk yang tadinya disebar 10 pengusaha, diganti dan disebar oleh 2.000 KUD," katanya.
Perusahaan-perusahaan skala besar juga didorong dan diwajibkan untuk membeli hasil koperasi.
"Tapi kebijakan tersebut sekarang berubah. Dan sampai saat ini belum ada pemimpin seperti Pak Harto yang benar-benar komit terhadap koperasi,” ujarnya.
Berbagai pencapaian koperasi pada zaman Soeharto, lanjut dia, membuahkan hasil memuaskan.
Bahkan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) memberikan gelar “Bapak Pembangunan Koperasi” bagi Pak Harto.
Menurut dia, kala itu, visi koperasi justru sudah mengincar target yang lebih luas lagi, yakni menguasai pasar pangan Asia-Pasifik.
Baca: F-PKB Soroti Lima Poin Revisi UU Perkoperasian
Waktu itu, menurut dia, benar-benar telah menjelma menjadi sokoguru (penopang utama) ekonomi rakyat sehingga mampu mengantarkan Indonesia mencapai swasembada pangan dan mengentaskan kemiskinan.
“Jadi sebenarnya swasembada pangan itu sudah kuno, karena Indonesia telah mencapainya pada masa Pak Harto. Bahkan visi koperasi waktu itu lebih besar lagi, mampu menguasai pasar pangan Asia-Pasifik,” kata Subiakto.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, kunci Indonesia menjadi negara dengan sistem koperasi terkuat adalah tetap melakukan revisi Undang undang (RUU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Meski telah digunakan, beberapa hal di dalamnya perlu dilakukan perubahan mendasar agar mengikuti perkembangan, baik terkait permodalan, sumberdaya manusia, kelembagaan koperasi, gerakan koperasi hingga pengembangan usaha koperasi.
"Misalnya terkait dengan gerakan koperasi yang ditempatkan sebagai pilar usaha bersama bagi sekelompok individu/lembaga dalam melakukan usaha," kata Tauhid.
Ia menyatakan gerakan koperasi juga perlu mendapat tempat dalam skema pembiayaan perbankan dan non perbankan, termasuk dari sisi program/kegiatan.
"Koperasi seharusnya mendapatkan alokasi yang cukup baik dalam APBN dan tidak hanya berada di satu Kementrian saja, tapi juga tersebar di Kementerian/lembaga lainnya," ujarnya.