Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Jokowi diharapkan tidak ragu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk batalkan RUU KPK yang baru saja disahkan.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menjelaskan sejumlah poin mengapa Perppu UU KPK perlu diterbitkan.
Salah satunya ialah soal UU KPK hasil revisi tidak lewat prosedur dan substansi yang semestinya.
Baca: Sumringahnya Pria Bule Asal Amerika Nikahi Wanita Bugis dalam Balutan Busana Adat
Baca: Nasib Sial Pegawai Bank Setelah Foto Syur-nya Viral Gara-gara Ulah Mantan Pacar
Baca: Jenazah Aiptu Pariadi dan Istrinya Dibawa Pakai Ambulans, Si Anak Bungsu: Aku Mau Ikut Bapak!
"Pertama, tentu saja bahwa UU KPK hasil revisi yang juga disepakati oleh DPR itu memang cacat prosedural dan substansi," ujar Syamsuddin dalam acara rilis survei LSI di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Penggodokan RUU KPK yang dilakukan secara tertutup, dan terkesan buru-buru, juga tanpa melibatkan pihak KPK itu sendiri, kata Syamsuddin masuk dalam kategori kecacatan prosedural.
Baca: Menikah, Jerinx SID dan Istri Pamer Cincin
Sementara terkait cacat substansi, RUU KPK yang baru berbeda dengan janji kampanye Jokowi untuk memberantas korupsi di Indonesia.
"Cacat substansi pertama bahwa UU KPK hasil revisi berbeda dengan janji Jokowi soal pemberantasan korupsi," sebutnya.
Adapun dalam hasil survei yang dirilis LSI, menunjukan bahwa 70,9 persen responden secara nasional, melihat revisi UU KPK adalah bentuk pelemahan lembaga antirasuah itu.
Sehingga Syamsuddin menganggap wajar jika Jokowi yang punya komitmen memperkuat KPK, perlu menerbitkan Perppu demi bisa memulihka kepercayaan publik terhadap pemerintahannya.
Jokowi, kata Syamsuddin juga tak perlu khawatir dengan ancaman-ancaman banyak pihak.
"Jadi tidak ada alasan bagi presiden untuk menunda terbitnya Perppu KPK. Presiden tidak perlu khawatir ancaman banyak pihak dengan pemecatan atas presiden. Ini bukan salah paham, tapi paham yang salah," ungkap dia.