TRIBUNNEWS.COM - Setelah terjadinya kasus penusukan oleh terduga teroris yang dialami oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, banyak teori yang berkembang di media sosial bahwa peristiwa tersebut hanyalah rekayasa belaka.
Menanggapi isu tersebut, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika angkat suara untuk meluruskannya ke publik, Dirjen IKP Widodo Muktiyo meminta masyarakat untuk berfikir logis dan tidak terpancing isu-isu negatif yang berkembang serta tidak ikut memanaskan situasi di media sosial.
“Pada saat inilah nalar kita dituntut untuk kritis. (Beredar informasi) penusukan Pak Wiranto dianggap skenario, action saja. Bagaimana mungkin ditusuk dengan pisau dianggap hanya action. Jangan sampai kita ditumpulkan oleh informasi sesat di media sosial,” tegas Widodo, kemarin.
Baca: Romelu Lukaku, Striker Paling Defensif di Liga Italia
Baca: Fakta Pertemuan Surya Paloh-Prabowo: Diplomasi Soto Mie hingga Prabowo Tiba-tiba Potong Ucapan Surya
Baca: Pernah Divonis Sakit Meningitis, Ashanty Sempat Minta Diceraikan Anang Hermansyah: Aku Udah Mau Mati
Menurut Widodo pada acara yang digelar Kominfo bekerjasama dengan Suara Muhammadiyah ini, informasi-informasi yang beredar terkait peristiwa tersebut sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuat heboh masyarakat Indonesia.
Ia meminta masyarakat untuk mempercayai informasi atau rilis resmi yang dikeluarkan pemerintah terkait perkembangan kasus penusukan Menkopolhukam.
Lebih lanjut, Widodo menjelaskan perkembangan media di era post truth, fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik karena lebih kuat emosi dan keyakinan pribadi.
Fakta-fakta kemudian bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya oleh publik. Sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia, Indonesia potensial menjadi target fenomena Post-Truth baik untuk tujuan ekonomi maupun kepentingan politik.
Fenomena inilah menurutnya yang sedang dialami oleh masyarakat Indonesia terutama arus media sosial yang paling mempengaruhi kadar obyektifitas publik.