"Jadi memang politik akomodatif yang terlihat berlebihan itu memang memengaruhi postur kabinet," ujar Arya, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/10/2019).
Ia mengatakan, dengan dukungan yang cukup banyak, Presiden dituntut memberikan konsesi posisi menteri ke partai-partai politik.
Dengan kata lain, bertambahnya anggota koalisi tentu akan memperbesar kemungkinan calon-calon menteri dari partai politik.
Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aisah Putri Budiatri, mengatakan, yang harus diingat adalah janji Jokowi yang menyebutkan bahwa profesional akan mengisi 55 persen kursi di kabinet.
Sementara, porsi menteri dari partai politik maksimal 45 persen.
Selain itu, menurut dia, Jokowi juga harus memastikan agar menterinya tidak memiliki masalah sebelum dilantik.
Baca: Akhirnya Rampung Susunan Kabinet Kerja 2, Ini Nama-nama Diduga Kuat Calon Menteri Baru Jokowi Maruf
Baca: Persoalan Buruh Perlu Sorotan, KSPSI Harap Kabinet Baru Segera Diumumkan usai Pelantikan
"Jangan sampai mengulang kejadian Archandra di masa lalu misalnya," kata dia.
Aisah menambahkan, postur kabinet juga harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan kerja pemerintah ke depan.
Dia mengingatkan pemerintah untuk tidak membentuk lembaga atau posisi baru yang tidak efektif dan hanya membuang anggaran negara.
Oleh karena itu, menurut dia, dalam konteks ini, Presiden juga patut mengevaluasi efektivitas struktur baru yang muncul di kabinet periode kedua ini.
"Atau, bisa juga memikirkan tentang posisi wakil menteri, yang belakangan menjadi isu publik. Jokowi harus benar-benar memikirkan apakah posisi wamen itu diperlukan dan siapa yang kiranya tepat mengisi posisi ini," ujar Aisah.
Reaksi 3 Menteri
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengamini bakal mempertahankan beberapa menteri untuk membantunya di pemerintahan lima tahun mendatang.
Jokowi mengaku sudah mengantongi nama-nama yang bakal mengisi kabinet di pemerintahannya bersama Ma'ruf Amin. Lagi-lagi, Jokowi minta semua pihak bersabar.