TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menunjuk Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan.
Dengan demikian, Gerindra resmi masuk ke dalam pemerintahan.
Padahal, Prabowo adalah rival Jokowi saat Pilpres 2019.
Politikus Gerindra, Miftah Sabri menjelaskan, ada eksperimen politik di Indonesia, seperti pada zaman Soekarno, Soeharto, transisi, serta pemilihan langsung.
"Saya pikir, kita belum bisa menyimpulkan ini adalah sistem yang tepat untuk kita," ujarnya dalam tayangan yang diunggah YouTube KompasTV, Senin (28/10/2019).
"Adanya indeks penggolongan dalam demokrasi membuat masyarakat tidak siap."
"Ada oknum aparat yang tidak siap melihat tokoh politik yang dia dukung dalam pemerintahan menangkapi lawan politiknya," tutur Miftah.
Baca: Soal Prabowo Subianto Gabung Kabinet Jokowi, Ternyata Sudah Diprediksi Faldo Maldini Juni Lalu
Menurutnya, ada kebijaksanaan antara Jokowi dan Prabowo.
Bila penggolongan demokrasi antara pemerintah yang berkuasa dengan koalisi dibiarkan, masyarakat akan menjadi lelah.
Sebab, ada pembelahan dalam masyarakat.
"Saat ini, masyarakat senang melihat Pak Jokowi dan Pak Prabowo bisa akur dalam satu pemerintahan," ujar Miftah.
Lebih lanjut Miftah menjelaskan, tujuan politik mendapatkan power untuk melaksanakan kebajikan.
Alhasil partai-partai meletakkan orang terbaiknya di sana.
"Kita tidak bisa mengatakan kalau ini bagi-bagi kekuasaan. Salah taruh menteri, bisa hancur pada pemilu berikutnya."
"Jadi saya pikir, janganlah kita menyesatkan masyarakat, yang dilakukan Pak Jokowi dengan persentase menteri untuk politisi, ada persentase untuk profesional itu sebagai dikotomi yang salah," ungkap Miftah.
Baca: Puan Maharani Upload Foto Wefie Bareng Prabowo Subianto & Megawati: Gitu Dong, Pak, Adem Lihatnya
Menurut Miftah, diangkatnya Prabowo sebagai Menhan dan masuknya Gerindra ke dalam koalisi adalah wujud dari dinamika politik yang ada di Indonesia.
"Tidak ada politik yang ajeg, keputusan Pak Jokowi dan Pak Prabowo adalah keputusan politik bersama dalam harmoni," kata Miftah.
Baca: Rapat Paripurna ke-4 DPR RI Dihadiri 362 dari 575 Anggota, Muhaimin Iskandar Tak Terlihat
Alasan Jokowi tarik Gerindra ke Kabinet
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma'ruf Amin, resmi mengumumkan Kabinet Indonesia Maju, sekaligus pelantikan menteri pada Rabu (23/10/2019).
Lalu disusul dengan pelantikan wakil menteri (wamen) pada Jumat (25/10/2019).
Dilansir dari kanal YouTube KOMPASTV, Senin (28/10/2019), tak hanya wajah lama, Kabinet Indonesia Maju juga diisi oleh sosok-sosok baru.
Mulai dari kalangan profesional, partai politik, mantan tim sukses, hingga relawan Jokowi.
Diketahui, 16 menteri dan anggota Kabinet Indonesia Maju berasal dari partai politik.
Sedangkan komposisi wamen, lima berasal dari profesional, lima dari partai politik, satu dari tim sukses, dan satu dari relawan.
Yang menarik, partai Gerindra yang menjadi rival politik Jokowi pada Pilpres 2019 mendapat kursi menteri.
Dengan masuknya Gerindra ke dalam Kabinet Indonesia Maju, Jokowi dinilai menerapkan politik akomodatif.
Pro dan kontra mencuat, komposisi kabinet dinilai syarat dengan kompromi namum Jokowi berdalih tengah mengusung demokrasi gotong royong.
Jokowi mengatakan ingin membangun demokrasi gotong royong dengan menarik Partai Gerindra, yang merupakan oposisi pada Pilpres 2019, ke dalam pemerintahannya.
Menurutnya, langkah ini baik untuk demokrasi di Indonesia.
Ia juga mengatakan proses kematangan demokrasi Indonesia menuju koridor yang lebih baik.
Mengajak Gerindra masuk ke dalam kabinetnya disebut Jokowi sebagai upaya untuk membangun demokrasi gotong royong.
"Ya kita ini pengin membangun sebuah demokrasi gotonng royong, jadi perlu saya sampaikan, di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi kayak di negara lain."
"Kalau itu baik untuk negara, baik untuk bangsa, ya kenapa tidak," tutur Jokowi dilansir dari Kanal YouTube Sekretariat Presiden yang dipublikasikan pada Kamis (24/10/2019).(*)
(Tribunnews/Nanda Lusiana Saputri)