TRIBUNNEWS.COM- Kepastian naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen sudah diketok palu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kepastian kenaikan iuran BPJS Kesehatan dibawah naungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Rencananya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu bakal berlaku mulai 1 Januari 2020.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat.
Ada yang menyetujui kenaikan tersebut, ada pula yang menyayangkan hal tersebut.
Seperti yang diungapkan Irma Patriana, peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas I ini.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Ini Komentar Praktisi Pelayan Kesehatan
Ia mengamini kenaikan tersebut dengan catatat pembayaran iuran dibarengi dengan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan yang diperoleh.
"Oke saja selama semua fasilitas sesuai kelas dan pelayanan kesehatan terus terjamin, naik dua kali lipat lebih bisa mengingatkan bahwa kesehatan itu mahal," ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (30/10/2019).
Warga Kepanjen, Kabupaten Malang itu berharap dengan kebijakan yang akan diterapkan di tahun depan bisa membuat masyarakat sadar akan pentingnya kesehatan.
"Ya kalo mau naik iurannya tidak masalah, biar semua orang sadar kalo sehat itu mahal," tegas perempuan berusia 25 tahun ini.
Baca: SAH! Jokowi Resmi Teken Perpres, Iuran BPJS Kesehatan Semua Kelas Naik Mulai 2020, Ini Besarannya
Hal berbeda diungkapkan pria asal Desa Sungelebak, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten lamongan, Rizal Fauzi.
Saat dihubungi Tribunnews.com ia tidak setuju dengan adanya kenaikan Iuran BPJS Kesehatan.
Menutur pria yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan sejak tahun 2016 ini perlu adanya perbaikan pelayanan sebelum ada kenaikan iuran.
"Tidak setuju dengan iuran yang sekarang ini, apa-apa harus ngurus ini itu dan prosedurnya ribet. Kadang juga pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS tidak maksimal," ungkap Fauzi.
Fauzi berpendapat dengan kenaikan hampir 100 persen membuat masyarakat berpikir ulang untuk membayar iuran dan memilih ditabung sendiri.
"Masih mikir-mikir juga lanjut bayar tiap bulan atau stop BPJS. Mendingan di tabung sendiri," tandasnya.
Komentar praktisi
Akademisi sekaligus praktisi pelayanan kesehatan, dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, Ph.D, memperkirakan adanya kemungkinan masyarakat yang akan menurunkan kelas BPJS Kesehatan-nya.
Menurutnya, dengan kenaikan iuran akan membuat masyarakat yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan secara mandiri alias kelompok yang membayar sendiri untuk menurukan kelasnya.
"Diperkirakan akan ada kelompok mandiri yang turun kelas. Memang diperbolehkan untuk turun kelas bila merasa keberatan," tutur Tonang saat dihubungi Tribunnews.com lewat pesan WhatsApp, Rabu (30/10/2019).
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Pelayanan RS UNS Solo ini menjelaskan dengan turunnya kelas peserta mandiri BPJS Kesehatan bisa berdampak kepada penyedian fasilitas kesehatan di rumah sakit (RS).
Baca: Langkah Menkes Terawan yang Sumbangkan Gaji Pertamanya untuk BPJS Kesehatan Patut Diapresiasi
"Bagi RS, penurunan kelas peserta berarti ada hubungannya dengan jumlah tempat tidur di RS sesuai hak pasien. Semoga tidak ada perubahan signifikan dalam hal jumlah peserta per kelas ini," ungkapnya.
Tonang menambahkan, pembebanan iuran BPJS Kesehatan 2019 sudah dirasakan oleh Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) pemerintah.
Artinya beban kenaikannya masih ditanggung pemerintah.
Sedangkan untuk kelompok PPU non pemerintah dan kelompok mandiri pembebanan iuran BPJS Kesehatan baru mulai per Januari 2020.
Dosen UNS Solo ini memahami jika ada keresahan yang timbul di masyarakat akibat kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Namun, dirinya mengingatkan kembali manfaat ketika masyarakat menjadi peserta JKN.
"Dapat dipahami bila ada keresahan. Tapi perlu diingat juga, manfaat JKN juga luas dan mencakup sangat banyak penjaminan, hampir semua dijamin. Besaran iuran tersebut masih relevan dengan manfaat yang dijamin" ungkap Tonang.
Meski demikian, Tonang berharap pemerintah memiliki mekanisme peninjauan kembali terkait besaran iuran BPJS Kesehatan.
Baca: Hari Ketiga Usai Dilantik Jadi Menteri Kesehatan, Dokter Terawan Akan Temui Direktur BPJS Kesehatan
Menurutnya besaran iuran memang seharusnya ditinjau kembali selambat-lambatnya setiap 2 tahun.
Peninjauan tersebut berfungsi untuk meningkatkan pelayanan sekaligus menghindari defisit anggaran.
"Harapannya ada dua, pertama utilitas pelayanan makin terasa, dan kedua perhitungan beban iuran juga makin mendekati akurasinya," kata pria yang menempuh pendidikan S1 di UNS Solo ini.
Lebih lanjut, dengan perhitungan tersebut dapat diestimasikan besaran selisih yang akan terjadi antara besaran iuran dengan defisit anggaran.
"Dulu kita menyebutnya missedmatch, kemudian unfunded, sekarang kita sebut sebagai defisit."
"Jadi sebenarnya defisit itu sudah diestimasikan. Sudah pula dicadangkan anggaran untuk menutupnya," lanjutnya.
Tonang menambahkan, setidaknya ada tiga cara untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan.
"Pilihannya ada 3, menyesuaikan iuran, mengurangi cakupan penjaminan dan memberikan dana tambahan."
"Kali ini, pemerintah memilih opsi pertama menyesuaikan iuran," kata Tonang.
Besaran iuran BPJS Kesehatan terbaru
Dalam dokumen Perpres 75 Tahun 2019 yang diakses Tribunnews.com, Selasa (29/10/2019) malam, iuran BPJS bagi Peserta Bukan Penerima Iuran (PBPU) dan BP ditetapkan naik menjadi Rp 42.000 bagi Kelas III dari sebelumnya sebesar Rp 25.500.
Adapun untuk Kelas II, besaran iuran dinaikkan menjadi sebesar RP 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000.
Kemudian untuk Kelas I naik menjadi Rp 160.000 dari sebelumnya Rp 80.000.
Kenaikan iuran BPJS kelas mandiri itu tertuang dalam pasal 34.
Sedangkan untuk iuran peserta PBI Jaminan Kesehatan yang didaftarkan pemerintah daerah yang semula sebesar Rp 23.000 dinaikkan menjadi sebesar Rp 42.000.
Kenaikan iuran peserta PBI ini diberlakukan mulai 1 Agustus 2019 lalu.
Selengkapnya Perpres 75 Tahun 2019 bisa Anda akses di tautan ini: Link
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)