TRIBUNNEWS.COM - Upah Minimum Provinsi (UMP) seluruh provinsi Indonesia di tahun 2020 mengalami kenaikan sebesar 8,51%.
Di Jawa Tengah, UMP 2020 sebesar Rp 1,74 juta dari 1,6 juta.
Serikat buruh menilai kenaikan tersebut belum cukup dan jauh dari harapan.
UMP tahun 2020 mengalami kenaikan sebesar 8,51% sesuai dengan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019.
Kenaikan tersebut berlaku di seluruh provinsi di Indonesia.
Dalam surat edaran tersebut, dari Surat Kepala BPS RI Nomor B-246/BPS/1000/10/2019 tanggal 2 Oktober 2019, inflasi nasional sebesar 3,39%.
Sementara untuk pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12%.
Baca: Soal Demo Para Buruh yang Tuntut Anies Tetapkan UMP 2020 Rp 4,6 Juta, Apalagi Tuntutan Mereka?
Baca: UMP 2020 di 34 Provinsi Naik, Kalimantan Utara Lebih Tinggi dari Kalimantan Barat, Selisih Berapa?
Kenaikan UMP sebesar 8,51% memang didasarkan pada dua faktor tersebut.
UMP yang telah ditetapkan oleh gubernur harus diumumkan serentak pada Jumat (1/11/2019).
Untuk pelaksanaannya, UMP yang ditetapkan berlaku mulai 1 Januari 2020.
Sementara itu, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) harus diumumkan selambat-lambatnya tanggal 21 November 2019.
Kenaikan UMP dengan penerimaan terbesar terjadi di DKI Jakarta dari sekitar Rp 3.940.973 pada 2019 menjadi Rp 4.276.349 pada 2020.
DI Yogyakarta menjadi provinsi dengan UMP paling kecil sebesar Rp 1.704.607 pada 2020 dari Rp 1.570.922 pada tahun 2019.
Wilayah Jawa Tengah menempati posisi ke-33 dari 34 provinsi.
Provinsi Jawa Tengah mengalami kenaikan dari 1.605.396 menjadi sekitar 1.742.015 pada 2020.
Kenaikan tersebut dinilai belum cukup oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Solo.
"Yang jelas kita masih menolak dengan angka segitu, belum cukup lah," kata Ketua DPC SBSI 1992 Kota Surakarta Endang Setiowati S.H, saat dihubungi Tribunnews melalui sambungan telepon, Rabu (30/10/2019).
Kenaikan yang berdasar pada PP No. 78 Tahun 2015 tersebut dinilai masih jauh dari harapan.
"Angka yang hanya tambahannya sedikit itu kan dikarenakan patokannya PP No. 78, di PP No. 78 sebenarnya isinya masih jauh dari harapan kita," kata Endang.
Dikatakan Endang, komponen dalam hitungan PP No.78 jauh dari realita yang dialami para buruh.
Saat ditanya mengenai harapan besaran kenaikan, Endang tak bisa serta merta memastikan hal tersebut.
Menurutnya, hal ini harus dimulai dari perubahan dalam sistem.
"PP No. 78 itu kan ada di dalamnya komponen yang harus dijadikan upah komponen kebutuhannya hanya 60 item, realitanya lebih dari itu," jelasnya.
Pihaknya berharap ada perubahan sistem yang nyata.
Baca: Kemenaker Tetapkan UMP 2020 Naik 8.51 Persen, Ini Gambaran Perkiraan Kenaikan di Tiap Provinsi
Baca: UMP 2020 di 34 Provinsi Naik: DIY Rp 1,7 Juta, Tertinggi DKI Jakarta dan Papua
"PP No.78 berlaku lima tahun, padahal ini baru berjalan dua tahun," katanya.
Endang juga mempersoalkan keputusan kenaikan UMP dengan mengandalkan inflasi.
Penghitungan UMP dengan faktor inflasi ini justru dinilai akan merugikan para buruh.
"Padahal kenaikan inflasi sudah harus dibayar buruh sebelum upah diberikan,"
"Inflasi biasanya terjadi sebelum lebaran. Secara otomatis upah yang baru diberikan beberapa bulan sudah harus nombok lagi," katanya.
SBSI tetap berupaya untuk memperjuangkan hak buruh dengan mengadakan berbagai audiensi terkait polemik PP No. 78.
Hingga saat ini, PP No. 78 dinilai masih mencekik para buruh.
Endang berharap, pemerintah memberikan kebijakan lain untuk menutup kebutuhan para buruh.
(Tribunnews.com/Miftah)