TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan istilah radikalisme diganti menjadi manipulator agama.
Terkait usulan tersebut, Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menilai penggunaan istilah itu tidak tepat.
Dilansir tayangan YouTube tvOneNews, Jumat (1/11/2019), Amirsyah Tambunan menilai ada dua hal yang perlu dicermati.
Pertama, penggunaan diksi radikalisme perlu hati-hati supaya tidak muncul kesalahpahaman.
"Radikalisme paham yang berdasarkan akar," ujar Amirsyah dalam tayangan yang diunggah YouTube tvOneNews, Jumat (1/11/2019).
"Kalau dalam ilmu filsafat radik itu masih positif. Tetapi kalau akar kekerasan digunakan, dalam pengetahuan umum yang kita lihat mampu mengubah situasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya menjadi negatif," tutur Amirsyah.
Kedua, diksi manipulator agama adalah manipulasi yang artinya orang-orang yang menyalahgunakan agama.
Menurut Amirsyah, istilah tersebut tidak tepat karena masih banyak istilah atau diksi yang lebih soft yang bisa digunakan untuk menyebut orang-orang yang melakukan penyimpangan dalam kehidupan beragama.
Menurutnya, kehati-hatian dalam pemilihan diksi harus diperhatikan karena isu agama adalah hal yang sangat sensitif.
Amirsyah menambahkan, jika ada perilaku yang kurang tepat dari umat beragama jalannya adalah memberi bimbingan, edukasi dan memberi pengertian.
Lebih lanjut Amirsyah menjelaskan, kesadaran tingkat beragama lebih penting supaya dapat memberikan pemahaman sekaligus praktik beragama yang tepat.
Amirsyah juga menekankan untuk dilakukan penelitian terlebih dulu sejauh mana penyebab perilaku beragama yang menyimpang dengan praktik-praktik terorisme dan kekerasan.
Saat ditanya soal pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang, Amirsyah menuturkan jika kita tidak boleh menggeneralisasi itu sebagai penganut paham radikalisme.
"Penggunaan cadar dan celana cingkrang tidak boleh menggeneralisir bahwa mereka menganut paham radikalisme," ujar Wasekjen MUI.
Amirsyah juga menyoroti soal argumentasi yang dibangun oleh menteri agama soal pelarangan penggunaan cadar adalah bagian dari keamanan.
Hal tersebut terkait dengan kasus penusukan yang dialami mantan Menkopolhukam Wiranto.
Menurut Amirsyah, jika diksi yang dipakai terorisme, persoalan tersebut sudah menjadi perosalan internasional.
"Persoalan teroris ini sudah menjadi persoalan dunia internasional yang menakutkan, bagi saya tidak adil jika ini digeneralisasi sehingga menuduh kelompok-kelompok tertentu," ujar Amirsyah.
Konsep Radikalisme dan Istilah Manipulator Politik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan radikalisme tidak tertuju pada kelompok agama tertentu.
Siapapun yang ingin melawan ideologi negara, bisa masuk dalam kategori radikalisme.
Bahkan Mahfud sampai mengusulkan istilah 'manipulator agama' lantaran sebutan radikalisme kerap diidentikan dengan agama tertentu.
Pertama, menyangkut subjek radikalisme yang mana bukan dari penganut agama tertentu.
Meskipun kebetulan kebanyakan pelakunya adalah orang penganut agama tertentu.
Tetapi dalam proses di pengadilan, bukti jelas bahwa telah melakukan tindakan yang disebut radikal atau penganut paham radikalisme.
Kedua, karena subjeknya tidak tertuju pada penganut agama tertentu maka perlu dicari sebutan lain.
"Kemarin presiden mengusulkan, meskipun tidak menjadi keputusan tetapi sekadar memberi ilustrasi," ujar Mahfud.
"Presiden mengatakan bahwa penganut radikal memang bukan agama tertentu sehingga mungkin perlu dicari sebutan lain. Sebutan lain itu misalnya, manipulator agama," tutur Mahfud.
Mahfud menjelaskan bahwa radikalisme merupakan paham yang berpandangan bahwa sistem bernegara salah sehingga harus dibongkar dari akarnya.
Penganut paham radikalisme juga melawankan ideologi negara dengan alternatif ideologi lain yang bertentangan dengan ideologi bangsa.
Paham radikalisme dalam tahapan tindakan bisa berupa tindak kekerasan atau membangun permusuhan dengan orang lain.
Mahfud menambahkan, bentuk radikalisme di dalam agama antara lain berupa takfiri (kelompok yang selalu mengkafirkan orang lain yang berbeda dengan dia).
(Tribunnews/Nanda Lusiana Saputri)