TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mencuatnya temuan adanya pengalokasian dana ke desa fiktif membuat kinerja kementerian terkait dipertanyakan.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, pemerintah lemah dalam melakukan verifikasi pengalokasian dana desa tersebut.
Baca: Wakil Menteri Desa Minta Bantuan Ikut Awasi Penggunaan Dana Desa
Robert menjelaskan secara administratif, setiap desa memiliki kode wilayah yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Walaupun kode wilayah desa tersebut tidak ada, kata dia, Pemerintah tetap mengalokasikan dana desa walau penyalurannya diberikan kepada kabupaten atau kota terlebih dahulu.
"Bayangkan transfer duit tapi hitungannya bagaimana, enggak tahu. Ternyata desanya desa bodong, desa hantu, atau apa pun namanya. Ini berarti soal verifikasi kita lemah sekali," kata Robert saat dihubungi, Rabu (6/11/2019).
Padahal, kata dia, ketika usulan kabupaten/kota diajukan kepada Kemenkeu, rincian berapa banyak desa yang menerima dana tersebut dicantumkan.
Tidak hanya itu, jumlah desa penerimanya pun mendapatkan alokasi dana yang berbeda-beda karena letak geografis, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan lain-lainnya pun berbeda.
"Saat masuk ke Kemenkeu, ketika memasukkan desa itu dalam variabel perhitungan kan tidak asal angkut begitu saja, dia harus koordinasi dengan Kemendagri yang punya kode wilayah bahkan juga dengan Kementerian Desa," kata dia.
"Nah ini bagaimana koordinasi di Pusat, ini berarti dari kabupaten/kota langsung ke Kemenkeu dipakai tanpa ada koordinasi kiri-kanan dengan dua kementerian lain, Kemendes dan Kemendagri," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kemunculan desa-desa baru imbas adanya kucuran dana desa.
Bahkan, berdasarkan laporan yang dia terima, banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun.
Baca: Sri Mulyani Ajak Mendagri Tito Karnavian Tangani Desa Bodong Terima Anggaran
"Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani di depan anggota Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Keberadaan aliran uang dana desa yang rutin dikucurkan ini, menurut Sri Mulyani, membuat pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan momentum dengan membentuk desa baru. (Deti Mega Purnamasari)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Masalah Desa Fiktif, Pemerintah Dinilai Lemah Memverifikasi Dana Desa
KPK beri fasilitas Polda Sultra usut dana desa fiktif
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi Polda Sulawesi Tenggara terkait penanganan kasus dugaan korupsi desa fiktif.
Perkara yang ditangani itu terkait dugaan tindak pidana korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur alias desa fiktif.
Baca: Jokowi Siapkan 5 Calon Dewan Pengawas KPK, Juru Bicara Jokowi: Tidak Secara Khusus Disebutkan
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pembentukan desa-desa fiktif itu menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga membuat keuangan negara atau daerah rugi atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD).
Desa fiktif itu di dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016-2018.
“Diduga ada 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada, akan tetapi SK Pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur, sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate,” kata Febri kepada wartawan, Rabu (6/11/2019).
Febri mengujarkan, pada 24 Juni lalu, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara di tahap penyelidikan di Mapolda Sulawesi Tenggara.
Dalam gelar perkara tersebut disimpulkan saat naik ke tahap penyidikan akan dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana untuk menyatakan proses pembentukan desa.
“Yang berdasarkan peraturan daerah yang dibuat dengan tanggal mundur (backdate), merupakan bagian dari tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak,” ujar dia.
Selanjutnya, pada 25 Juni lalu, pertemuan juga telah dilakukan antara pimpinan KPK dengan Kapolda Sulawesi Tenggara.
Dalam pertemuan tersebut diminta agar KPK melakukan supervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara ini.
“Perkara ini telah naik ke tahap penyidikan dan Polda telah mengirimkan SPDP ke KPK sesuai ketentuan Pasal 50 UU KPK. Sesuai dengan KUHAP, penyidikan yang dilakukan Polri adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,” kata Febri.
Baca: Pengamat: Jokowi Harus Tunggu Putusan MK
Salah satu bentuk dukungan KPK dalam mengungkap kasus ini adalah dengan memfasilitasi keterangan ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama pada 16 September 2019.
“Dukungan yang diberikan KPK pada penanganan perkara di Polri ataupun Kejaksaan merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi trigger mechanism yang diamanatkan Undang-Undang. Kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi agar anggaran yang seharusnya dinikmati rakyat tidak dicuri oleh orang-orang tertentu,” ujar Febri.
Tito Karnavian minta Bantuan Polri
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku telah berkoordinasi dengan jajaran kepolisian untuk membantu mengusut kasus aliran dana desa fiktif.
Tito Karnavian juga meminta kepada jajaran kepolisian untuk menindak tegas para pelaku jika memang terbukti ada desa fiktif penerima aliran dana.
Baca: Sri Mulyani Ungkap soal Desa Fiktif yang Dapat Dana, Fahri Hamzah Beri Tanggapan Ini
"Kalau nanti ada pemalsuan KTP dan lain-lain, fiktif, dikenakan tindak pidana pemalsuan. Tadi saya sudah tekankan kepada Kapolda, sudah tindak saja kalau memang fiktif. Kalau ada korupsi, tindak saja. Baru nanti kita perbaiki sistemnya," kata Tito Karnavian saat ditemui di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/11/2019).
Tito Karnavian juga menyebut, pihaknya telah menerjunkan tim untuk mengecek langsung kabar adanya desa fiktif yang menerima aliran dana desa.
Terutama, wilayah Konawe, Sulawesi Tenggara yang selama ramai disebut sebagai lokasi desa fiktif penerima aliran dana.
"Sudah bergerak tim kita ke sana bersama dengan pemprov. Dan ada empat (desa,red) ya, yang diduga, katanya, itu fiktif atau tidak ada penduduknya, diberikan anggaran, itu kita cek," ujar Tito Karnavian.
Eks Kapolri ini menjelaskan, dalam penelusuran desa fiktif ini Kemendagri tidak bisa bekerja sendiri.
Karena, ada lebih dari 70 ribu desa yang ada di Indonesia.
Maka dari itu, pihaknya menggandeng pemerintah daerah untuk mengecek di wilayahnya masing-masing.
"Oleh karena itu, sudah turun tim dari kita, kerjasama dengan provinsi, tim gabungan, bergabung dengan polda Sulawesi Tenggara," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut banyak desa fiktif bermunculan akibat besarnya alokasi dana desa dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Baca: Johan Budi Tegur Tito Karnavian Saat Rapat di Komisi II DPR: Lain Kali Jangan Telat
Ia menjelaskan informasi tersebut bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. Terdapat beberapa desa baru tak berpenghuni yang mendapat aliran dana desa.
"Kami mendengar ada transfer yang ajaib dari APBN dan muncul desa-desa baru yang tidak berpenghuni karena melihat jumlah dana yang ditransfer setiap tahunnya," ujar Sri Mulyani di Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (4/11/2019).