News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

LSM Profauna Minta Pemerintah Perlu Tiru Komitmen Soeharto dalam Perlindungan Satwa

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengunjung berfoto pada kegiatan Aksi Konservasi Hutan Tropis Sumatera, di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, Senin (20/11/2017). Pameran 40 karya foto nominasi lomba foto yang digelar Tropical Forest Conservation Action (TPFA) bekerjasama dengan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan dan Aceh tersebut dalam rangka kampanye perlindungan satwa dan peduli lingkungan. TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Protection of Forest & Fauna (Profauna) mendesak pemerintahan baru Presiden Joko  Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.

Chairman Profauna,  Rosek Nursahid menjelaskan permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan  perhatian khusus.

“Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam  ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global,” katanya dalam keterangan pers, Minggu (17/11/2019).

Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis.

“Ambil contoh satwa  burung, beberapa jenis tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah,” tegasnya.

Sebenarnya, lanjut dia, komitmen pemerintah dalam melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden  Soeharto.

Di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga  Nasional.

Dalam keppres itu disebutkan tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah,  dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa  (Rafflesia Arnoldi).

Keppres yang ditetapkan tanggal 9 Januari 1993 dan ditandatangani langsung Oleh Soeharto itu memiliki andil besar membawa  nama satwa Komodo dan bunga Rafflesia Arnoldi hingga terkenal seperti sekarang.

“Seiring perkembangan zaman, tantangan  untuk melindungi satwa dan fauna juga bergeser,” paparnya.

Rosek menilai jika dahulu tantangan di era Orba adalah regulasi, sekarang di zaman ini tantangannya berupa implementasi  penegakan hukum di lapangan.

“Banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal. Hal ini  karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan,” ujarnya.

Karena itu, Rosek mendesak, pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin serta kalangan DPR yang baru  dapat membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal.

Bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang biasa  diperingati pada 5 November, Profauna mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.

“Kami dari  Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal 2 tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan,  penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi,” tegasnya.

Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, juga pernah mengisahkan perlakuan  penguasa terhadap binatang. Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke  dalam hutan.

Emil Salim menuliskan kisah itu dalam buku “Pak Harto The Untold Stories” terbitan Gramedia, tahun 2012 silam.

Emil Salim menceritakan peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam, tiba-tiba dia  mendapatkan telepon dari Palembang.

Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap  hendak menembak rombongan gajah yang “mengamuk”.

Kawanan gajah tersebut merusak kebun-kebun dari sebuah desa transmigrasi  yang baru saja didirikan.

Mendapatkan laporan itu, Emil lantas mempelajarinya.

Ternyata gajah-gajah yang hidup di hutan pedalaman Sumatera itu memang memiliki ritual, yaitu pergi ke laut setahun sekali  untuk memperoleh garam.

Jalan yang harus mereka lalui selalu sama.

Sayangnya, jalan tersebut belakangan digunakan untuk membuat kebun dan hal itu tidak diketahui oleh Dinas Transmigrasi saat itu.

Penduduk yang ketakutan itu kemudian meminta  bantuan para tentara.

Emil Salim segera melaporkan peristiwa itu kepada Presiden Soeharto dan Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Try Sutrisno.

Pak Harto tegas melarang para tentara menembaki gajah-gajah tersebut.

Ia meminta para anggota TNI agar menggiring gajah  masuk hutan lagi melalui jalan lain yang tak melintasi desa.

“Pak Harto menyarankan digunakannya perangkat bunyi-bunyian  seperti terompet, kayu yang dipukul-pukul, kentongan dan sebagainya untuk menggiring gajah,” ujar Emil Salim.

Para anggota TNI segera melaksanakannya.

Saran itu ternyata membuahkan hasil. Gajah-gajah itu bisa kembali hutan.

Saat  gajah-gajah itu mendekati habitatnya, para anggota TNI yang mengawalnya sampai menitikkan air matanya.

Gajah-gajah itu berjalan dalam formasi. Gajah-gajah betina berjalan di depan dan di belakang, anak-anak gajah berjalan  terlindung di tengah-tengah rombongan.

“Gajah-gajah jantan dewasa berjalan mondar-mandir ke depan dan ke belakang untuk
mengawal seluruh rombongan mereka,” lanjut Emil Salim.

Presiden Soeharto pun tampak senang mendapatkan kabar itu lantas mengundang para tentara tersebut ke Bina Graha.

“Pak Harto  menyalami mereka satu persatu, termasuk yang pangkatnya terendah sekali pun, mengucapkan langsung terima kasihnya untuk  tugas yang tak biasa itu,” tandas Emil Salim.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini