TRIBUNNEWS.COM - Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2017, menyebut pelaku terorisme paling banyak berasal dari kalangan anak muda.
Menurut data tersebut, sebanyak 11,8 % pelaku terorisme berumur di bawah 21 tahun.
Selanjutnya, sebanyak 47,3 % pelaku terorisme berumur antara 21-30 tahun.
Sedangkan pelaku terorisme berumur antar 31- 40 tahun sebanyak 29,1 %.
Sisanya, sebanyak 11,8 pelaku terorisme berumur di atas 40 tahun.
Baca: Ahok Direncanakan Jadi Bos BUMN, Tagar #AhokDirutMafiaCemberut jadi Trending di Twitter
Melihat kasus yang terbaru bom bunuh diri di Markas Komando (Mako) Polrestabes Medan, Rabu (13/11/2019) juga dilakukan dilakukan oleh pemuda berinisial RMN.
Diketahui pelaku masih berusia 24 tahun dan masih berstatus sebagai seorang mahasiswa.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, lantas bagaimana cara mengatasi paham radikal yang tumbuh subur di kalangan anak muda?
Berikut tips dari kacamata psikologi untuk mengatasi fenomena tersebut dari Kepala UPT Bimbingan dan Konseling Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hudaniah, S.Psi., M.Si.
Menurut Hudaniah dalam wawancara dengan Tribunnews, ada tiga elemen penting yang harus saling bersinergi untuk menciptakan lingkungan sosial masyarakat yang sehat dari paham radikal, berikut rinciannya;
Baca: UPDATE RANKING BWF 2019: Marcus/Kevin dan Momota Tetap Kokoh, Ganda Putra Korsel Tembus 7 Besar
1. Peran Keluarga
Hudaniah menjelaskan keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak.
Sebab ini lah peran keluarga memiliki peranan sentral dalam membendung paham radikal yang tumbuh subur di kalangan anak muda
Dirinya menyarakankan jadilah orangtua yang mendapat kepercayaan dari sang anak.
"Pertama jadilah orang tua yang anak mempercayai orang tuanya," ujar Hudaniah lewat sambungan telepon, Sabtu (16/11/2019)
Ketika sudah dipercaya, anak akan memiliki sikap terbuka, dan bersedian menceritakan apapun yang dialami sang anak.
Dengan adanya keterbukaan, bibit-bibit perilaku menyimpang, termasuk terorisme dapat diatasi sebelum berkembang.
"Apapun itu anak akan menceritakan kepada orangtuanya," ujar Hudaniah.
Baca: Mahfud MD Jenguk La Lembah Manah, Ini Doanya untuk Cucu Ketiga Jokowi
2. Peran Masyarakat
Masyarakat dalam lingkup kecil seperti RT maupun RW menjadi alat kontrol sosial mencegah paham-paham radikal tumbuh subur di generasi muda.
Hudaniah menilai, ada pergeseran kontruksi masyarakat antaran masa dulu dengan sekarang.
Menurutnya masyarakat sekarang cederung memilih diam ketika ada keanehan yang terjadi dilingkungannya.
Ada sebagian masyarakat yang tidak bisa membedakan mana urusan hak pribadi orang, dengan urusan yang meyangkut kepentingan bersama.
"Masyarakat kita kan gini diem, ada sesuatu yang aneh tidak berani menegur dan tidak bertanya," ujar Hudaniah.
Inilah yang Hudaniah maksud dengan kontrol sosial di masyarakat.
Hudaniah melihat ketika kontrol sosial di masyarakat rendah, menyebabkan perilaku menyimpang akan tumbuh subur.
"Karena masyarakat memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang" kata Hudaniah .
"Empati dari kita menyelamatkan individu lain," lanjutnya.
Baca: Pemprov Bali Buka 653 Formasi CPNS 2019, Simak Syarat Pendaftaran dan Ketentuan Pelaksanaan Seleksi
3. Peran Negara
Hudaniah mengatakan jika peran pemerintah juga tidak kalah penting dalam upaya membendung paham radikal di tengah-tengah masyarakat.
Menurutnya, pemerintah harus membentuk pemerintahan yang baik dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
"Memberikan kepercayaan dan membangun thrush government, " ujar Dosen Fakultas Psikologi UMM ini.
Pemerintah juga dinilai perlu membangun mental masyarakat sebagai warga negara yang baik melalui kebijakan-kebijakan.
Hudaniah menambahkan pemerintah harus bisa menenangkan masyarakat ketika terjadi konflik-konflik horizontal.
"Menenangkan saat timbul konflik-konflik bukan justru meruncing masalah," jelas Hudaniah.
Baca: Harga HP Vivo Terbaru Bulan November 2019, Vivo Z1 Pro Mulai Rp 3 Juta, Vivo V17 Pro Rp 5,6 Juta
Komentar Pengamat Intelijen
Pengamat Intelijen dan Keamanan UI, Stanislaus Riyanti menjelasakan terjadi pergeseran metode yang dilakukan oleh pimpinan teroris dalam melakukan perekrutan anggota baru.
Ia menyebut, jika kelompok lama seperti Al-Qaeda melakukan pencarian anggota baru dengan bertatap muka langsung, kemudian akan dilatih sehingga siap melakukan aksi.
Ini sangat berbeda di era sekarang ini, menurut Stanislaus perkembangan sosial media yang ada membuat penyebarakan konten-konten radikal sangat mudah ditemui.
"Sekarang radikalisme sangat cepat terjadi karena menggunakan media sosial," ujar Stanislaus saat diundang dalam acara acara Mata Najwa, Rabu (13/11/2019) lalu.
Lanjut Stanislaus, kelompok-kelompok radikal saat ini menebar jaring menggunakan konten radikal di media sosial.
Kemudian mereka akan menunggu individu-individu yang mulai tertarik dengan konten tersebut.
"Kelompok teroris melemparkan konten-kontennya dalam media sosial secara mereka acak," kata Stanislaus
"Ketika ada anak muda yang merespon, akan memberikan respon balik oleh penebar konten," lanjutnya.
Baca: Fadli Zon Angkat Bicara Terkait Masuknya Ahok ke BUMN: Ahok-Jokowi Teman Sejati
Menurut Stanislaus, perkembangan dunia maya yang pesat menjadi penyebab kenaikan secara signifikan radikalisme di kalangan anak muda.
Stanislaus menilai tidak adanya langkah serius dari pemerintah dalam mecegah tersebaranya konten radikal di media sosial.
"Kita blokir satu muncul seribu, sangat mudah mucul," tegasnya.
Adanya ketidak pedulian dari orangtua dalam pengawasan kepada anak ketika mengkonsumsi informasi di media sosial juga memperparah kondisi ini.
"Orangtua juga tidak peduli, sangat cepat tersebarnya,"
"Ketika anaknya jadi teroris, orangtua akan kaget, biasanya kan seperi itu," tutup Stanislaus.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)