Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bibit Samad Rianto bersuara sikapi langkah tiga pimpinan KPK mengajukan judicial review (JR) atas UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/11/2019).
Mantan Wakil Ketua KPK tersebut menganggap sikap yang diambil Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang sah-sah saja.
"Tidak apa-apa, aku juga pernah melakukan judicial review kok ke MK," kata Bibit Samad Rianto kepada Tribunnews.com, Rabu (20/11/2019).
Mengutip pernyataan Bibit, dia bersama Chandra Hamzah selaku pimpinan KPK nonaktif waktu itu memang pernah mengajukan uju materi ke MK.
Baca: Kapolri Tegaskan Firli Bahuri Akan Lepas Jabatan Kabaharkam Sebelum Dilantik Jadi Ketua KPK
Senin (26/10/2009) MK menggelar sidang gugatan judicial review (uji materi) terhadap pasal 32 ayat 1 undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Gugatan ini dilakukan Bibit-Chandra sebagai bentuk perlawanan terhadap kasus yang menimpanya.
Uji materi tersebut dilakukan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan terkait pemberhentian mereka dari kursi pimpinan KPK.
Kembali ke pokok perkara, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, selain tiga pimpinan KPK, pemohon gugatan ini juga terdiri dari para aktivis antikorupsi dan didampingi 39 advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK.
"Jadi ada beberapa orang. Kemudian kita didampingi oleh lawyer-lawyer kita. Kemudian kita nanti mengundang ahli," kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/11/2019).
Baca: Kuasa Hukum Tiga Pimpinan KPK Pastikan Ajukan Gugatan Materil Terhadap UU KPK Baru
Agus sebenarnya masih berharap Presiden Jokowi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun, hingga kini, dia melihat hal itu belum diterbitkan Jokowi.
"Harapan kita kan sebetulnya Perppu itu keluar. Tapi Bapak Presiden juga menyarankan supaya kita menempuh jalur hukum. Oleh karena itu kita mengajukan JR hari ini," kata Agus.
Dia menegaskan, pihaknya akan mengajukan uji formil dan uji materiil terkait UU KPK yang baru.
Uji formil akan menyoal proses pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Sementara uji materiil, akan menyasar pasal di UU tersebut, termasuk mengenai keberadaan dewan pengawas.
Berdasarkan informasi, selain tiga pimpinan KPK, para pemohon gugatan lainnya yakni dua mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan M Jasin; Omi Komaria Madjid (istri pendiri Kampus Paramadina, Nurcholish Madjid atau Cak Nur).
Baca: Datangi MK Sebagai Individu, Tiga Pimpinan KPK Gugat UU KPK Baru
Kemudian, Betty S Alisjahbana (mantan Pansel Capim KPK dan mantan Ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti-corruption Award); Hariadi Kartodihardjo (ahli kebijakan lingkungan); Mayling Oey (Guru Besar Ekonomi UI).
Lalu, Suarhatini Hadad (Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional); Abdul Ficar Hadjar (pakar hukum pidana Universitas Trisakti); Abdillah Toha (pendiri grup Mizan); dan Ismid Hadad (Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Kehati).
"Total pemohon yang akan menyampaikan uji formil kali ini ada 13 orang. Tadi sudah disebutkan beberapa pimpinan KPK menggunakan hak sebagai warga negara dan juga ada mantan komisioner KPK juga ada pak dan banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat yang juga bergabung," kata Kurnia Ramadhana, salah satu Tim Advokasi UU KPK di kantor KPK.
Kurnia yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menyatakan, bergabungnya pimpinan KPK dan para tokoh antikorupsi menunjukkan adanga permasalahan dalam proses pembentukan UU KPK yang baru.
Baca: Antasari Azhar Nilai Langkah Tiga Pimpinan KPK Gugat UU Baru ke MK Kurang Tepat
Selain tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas, pembentukan UU tersebut juga tidak melibatkan KPK sebagai salah satu pemangku kepentingan dan yang menjalankan UU.
"Dan partisipasi masyarakat pun rasanya tidak dianggap sesuatu yang penting oleh DPR dan pemerintah," katanya.
Dijelaskan, untuk saat ini, gugatan lebih ditujukan untuk uji formil UU KPK. Sementara untuk uji materi, Kurnia menyatakan, pihaknya masih menyusun permohonan.
"Saat ini uji formil. Jadi untuk materiil itu nanti kita masih mengumpulkan beberapa bukti-bukti untuk memperkuat permohonan kita. (Uji formil dan materiil) Terpisah. Hari ini kita mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mana kita menganggap banyak pertentangan peraturan perundang-undangan di dalamnya," katanya.