Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita menilai kurang tepat tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang memutuskan untuk turut mengajukan judicial review (JR) atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/11/2019).
Terlebih, menuru mantan Ketua Perumus Undang-Undang KPK ini menjelaskan saat ini Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang masih berstatus sebagai komisioner di lembaga antirasuah tersebut.
"Etika kelembagaan dan integritas mereka dipertanyakan. Sikap yang benar seharusnya semua pimpinan lama KPK mengundurkan diri dari jabatan mereka sebagai bentuk konsistensi sikap akuntabilitas dan profesionalitas mereka," kata Romli Atmasasmita kepada Tribunnews.com, Rabu (20/11/2019).
Baca: Peneliti: Gugatan Agus Raharjo Cs Beri Pesan Ada Persoalan Serius Terkait Proses Revisi UU KPK
Menurutnya, secara hukum pimpinan KPK punya legal standing sebagai pemohon judical riview.
Namun, dia mengingatkan, pimpinan KPK adalah pelaksana undang-undang.
"Memang memliki legal standing sebagai pemohon JR. Pimpinan KPK adalah pelaksana UU," kata Romli Atmasasmita.
Hal senada juga disampaikan mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Baca: KPK Hadirkan 13 Pemohon dan 39 Advokat untuk Gugat UU Baru
Menurut dia, langkah Agus, Syarif, dan Saut tidak tepat.
Apalagi, saat ini mereka bertiga masih menjabat sebagai komisioner KPK.
Baca: KPK Hadirkan 13 Pemohon dan 39 Advokat untuk Gugat UU Baru
"Gugatan sebagai warga negara tepat saja, tetapi masih sebagai pejabat negara kurang tepat," kata Antasari Azhar kepada Tribunnews.com, Rabu (20/11/2019).
Mantan ketua KPK era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut menyarankan tiga pimpinan KPK untuk mengikuti kebijakan kepala negara.
"Pimpinan KPK sebagai pejabat negara, selayaknya ikuti kebijakan kepala negara, walaupun dalam tugas tetap independen," kata Antasari.
Baca: KPK Hadirkan 13 Pemohon dan 39 Advokat untuk Gugat UU Baru
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, selain tiga pimpinan KPK, pemohon gugatan ini juga terdiri dari para aktivis antikorupsi dan didampingi 39 advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK.
"Jadi ada beberapa orang. Kemudian kita didampingi oleh lawyer-lawyer kita. Kemudian kita nanti mengundang ahli," kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/11/2019).
Agus sebenarnya masih berharap Presiden Jokowi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun, hingga kini, dia melihat hal itu belum diterbitkan Jokowi.
"Harapan kita kan sebetulnya Perppu itu keluar. Tapi Bapak Presiden juga menyarankan supaya kita menempuh jalur hukum. Oleh karena itu kita mengajukan JR hari ini," kata Agus.
Dia menegaskan, pihaknya akan mengajukan uji formil dan uji materiil terkait UU KPK yang baru.
Uji formil akan menyoal proses pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Sementara uji materiil, akan menyasar pasal di UU tersebut, termasuk mengenai keberadaan dewan pengawas.
Berdasarkan informasi, selain tiga pimpinan KPK, para pemohon gugatan lainnya yakni dua mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan M Jasin; Omi Komaria Madjid (istri pendiri Kampus Paramadina, Nurcholish Madjid atau Cak Nur); Betty S Alisjahbana (mantan Pansel Capim KPK dan mantan Ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti-corruption Award).
Kemudian Hariadi Kartodihardjo (ahli kebijakan lingkungan); Mayling Oey (Guru Besar Ekonomi UI); Suarhatini Hadad (Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional); Abdul Ficar Hadjar (pakar hukum pidana Universitas Trisakti); Abdillah Toha (pendiri grup Mizan); dan Ismid Hadad (Ketua Dewan Pimpinan Yayasan Kehati).
"Total pemohon yang akan menyampaikan uji formil kali ini ada 13 orang. Tadi sudah disebutkan beberapa pimpinan KPK menggunakan hak sebagai warga negara dan juga ada mantan komisioner KPK juga ada pak dan banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat yang juga bergabung," kata Kurnia Ramadhana, seorang Tim Advokasi UU KPK di kantor KPK.
Kurnia yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menyatakan, bergabungnya pimpinan KPK dan para tokoh antikorupsi menunjukkan adanga permasalahan dalam proses pembentukan UU KPK yang baru.
Selain tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas, pembentukan UU tersebut juga tidak melibatkan KPK sebagai salah satu pemangku kepentingan dan yang menjalankan UU.
"Dan partisipasi masyarakat pun rasanya tidak dianggap sesuatu yang penting oleh DPR dan pemerintah," katanya.
Dijelaskan, untuk saat ini, gugatan lebih ditujukan untuk uji formil UU KPK. Sementara untuk uji materi, Kurnia menyatakan, pihaknya masih menyusun permohonan.
"Saat ini uji formil. Jadi untuk materiil itu nanti kita masih mengumpulkan beberapa bukti-bukti untuk memperkuat permohonan kita. (Uji formil dan materiil) Terpisah. Hari ini kita mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mana kita menganggap banyak pertentangan peraturan perundang-undangan di dalamnya," katanya.