TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA – Danareksa Research Institute (DRI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV tahun ini berpotensi melambat tetapi mendekati level 5 persen seiring dengan sejumlah tekanan dari dalam dan luar negeri serta pelaku pasar yang masih menunggu (wait and see) iklim usaha kondusif.
Head of Danareksa Research Institute, Moekti Prasetiani Soejachmoen mengatakan saat ini terjadi penurunan angka impor, terutama impor barang modal dan bahan baku. Ini berarti dalam 3-6 bulan ke depan, perekonomian Indonesia masih melambat.
Neraca perdagangan yang surplus pada Oktober lalu, juga dinilai bukan berarti pertanda yang baik karena bisa jadi surplus tersebut terjadi karena adanya penurunan impor yang lebih dalam dari ekspor.
“Hal ini memberikan sinyal di Q4 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dan sepanjang 2019 pertumbuhan ekonomi lebih mendekati 5%. Untuk mencapai 5,05% dirasa berat karena pengaruh impor yang terus menurun,” kata Moekti, dalam pernyataan resmi di Jakarta, Kamis, (21/11/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan ekspor periode Oktober 2019 yang terkontraksi 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY.
Baca: Memperkuat Investasi Langsung untuk Menekan Defisit Neraca Transaksi Berjalan
Ini membuat neraca perdagangan RI surplus US$ 160 juta.
Selain itu, katanya, faktor perlambatan ekonomi juga dipengaruhi banyaknya pihak yang masih wait and see dengan iklim usaha di Indonesia.
Dia menegaskan yang paling cepat dapat mendorong perekonomian Indonesia pada kuartal IV ini adalah belanja pemerintah (government spending), seperti bantuan sosial langsung ke masyarakat kelas bawah.
“Namun saat ini nilainya tidak banyak, karena hingga bulan Oktober 2019, realisasi bantuan sosial sudah mencapai 95%, sehingga dirasa tidak terlalu berdampak signifikan, apalagi ditambah dengan nilai impor yang turun lagi sehingga dirasa berat,” jelas Moekti.
Sebagai informasi, pada kuartal III-2019, pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,02% YoY.
PDB tersebut melambat dari kuartal I dan II-2019 yang tumbuh masing-masing 5,07% dan 5,05%. PDB kuartal III bahkan menjadi yang terendah sejak kuartal II 2017.
Baca: Pasar Keuangan Dalam Negeri Masih akan Digerakkan Sentimen Eksternal Perang AS-Tiongkok
Moekti menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi Indonesia saat ini merupakan dampak dari perlambatan ekonomi global. Itu artinya, permintaan dunia terhadap barang-barang produksi negara-negara juga turun, yang pada akhirnya berdampak pada sektor manufaktur dan komoditas.
Saat ini, ekspor komoditas Indonesia secara volume naik, tetapi karena harganya turun, maka nilai ekspor Indonesia juga turun.
Danareksa pun optimistis ekonomi pada tahun 2020 akan lebih baik dibanding tahun 2019 karena efek perang dagang AS-China sudah mulai mereda, adanya kepastian Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa), dan dampak dari penurunan suku bunga BI yang akan mulai terasa di awal tahun 2020.
“Sehingga suku bunga pinjaman turun dan diharapkan bisnis sektor mulai meminjam dana modal ke bank sehingga produksi meningkat dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ungkapnya.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Rabu-Kamis (20-21 November) ini akan merilis keputusan suku bunga acuan BI-7 Day Reserve Repo Rate yang terakhir diturunkan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5% pada 24 Oktober silam.
Baca: Pasar Keuangan Dalam Negeri Masih akan Digerakkan Sentimen Eksternal Perang AS-Tiongkok
Moekti mengatakan, dampak penurunan suku bunga BI baru dapat dirasakan sekitar awal tahun depan.
“Penurunan suku bunga BI harus di-adopt ke bank-bank, biasanya transmisinya butuh waktu hingga 9 bulan. Walaupun suku bunga acuan BI turun, namun bank tidak dapat serta merta langsung menurunkan bunga (sticky price),” katanya.
Selain itu, meskipun bank-bank memiliki uang berlebih untuk menyalurkan kreditnya namun saat ini mereka lebih berhati-hati untuk memberikan kredit lantaran sejak beberapa tahun lalu NPL atau tingkat kredit bermasalah di beberapa bank cukup tinggi.
Sebelumnya, BI sudah empat bulan beruntun menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016.
Tak hanya suku bunga, Moekti juga menyoroti beberapa sektor di tengah belum kondusifnya pasar modal Tanah Air.
Sektor yang paling terdampak dengan adanya perlambatan ekonomi ialah sektor manufaktur dan komoditas.
Pada sektor komoditas, apabila harganya turun (harga komoditas dunia), maka akan berdampak ke sektor pendukung lain misalnya untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), akan berimbas ke petani sawit, pemilik kapal tongkang, logistik, serta dapat berdampak pula ke kredit macet di perbankan, dan lainnya.
“Di Q4 ini harga komoditas dunia masih turun jadi saat ini rasanya masih susah untuk dapat lebih baik. Dan untuk memperbaiki current account deficit [CAD, neraca transaksi berjalan] saat ini adalah dengan menaikkan investasi yang untuk sektor ekspor.
Baca: PTPP Gandeng Telkom dan Danareksa Bangun BUMN Center
Dia menegaskan sektor consumer mikro tidak terlalu berpengaruh atas perlambatan ekonomi.
“Konsumen sektor mikro adalah kelas menengah ke bawah. Selama daya beli kelas menengah ke bawah tidak berkurang, maka sektor mikro tidak terlalu berpengaruh,” katanya.
Apalagi, kata dia sektor mikro yang memproduksi makanan atau kebutuhan sehari-hari.
"Biasanya apabila terjadi perlambatan ekonomi, sektor makanan, minuman tidak banyak menurun karena sebagai kebutuhan pokok,” tuturnya.