Fungsi pendengaran Angkie terus menurun.
Ia juga sempat mengalami tinitus atau telinga berdengung saat SMP.
Berbagai pengobatan telah ia jalani, tetapi tak bisa mengembalikan pendengarannya seperti semula.
Angkie akhirnya menggunakan alat bantu dengar.
"Waktu itu pakai alat bantu dengar bukan perkara mudah, susah dan malu banget.
Orang pikir itu apa sih di belakang telinga. Karena kalau kita berpikir sesuatu yang sempurna, kalau ada yang enggak sempurna itu jadi di-bully," tutur Angkie.
Mengalami keterbatasan pendengaran saat remaja adalah masa sulit bagi Angkie.
Ia kerap merasa tertekan dan kurang percaya diri.
Meski demikian, penulis buku Perempuan Tunarungu, Menembus Batas ini tak pernah patah semangat untuk mengenyam pendidikan.
Dilansir dari Kompas.com, lulusan SMAN 2 Bogor, Angkie melanjutkan kuliah jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta.
Saat kuliah, perlahan Angkie bisa menerima keterbatasan yang dimilikinya. Ia banyak belajar kata-kata dengan membaca buku.
"Dosenku bilang, kamu jujur sama diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah jujur sama diri sendiri dan jujur sama orang lain, orang lain akan mengapresiasi kejujuran kita. Jadi benar, ketika aku jujur, mereka jadi sangat bantu," ucap Angkie.
Angkie mulai sadar, bila ia tidak pernah menerima dirinya sendiri, sampai kapan pun tak akan bisa menikmati hidupnya.
Dukungan orangtua juga membuat Angkie bangkit kembali untuk menjalani kehidupannya.