News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Mahfud MD: Saya Bukan Orang Hebat, Nembak Saja Tak Bisa

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjawab pertanyaan saat wawancara khusus dengan Tribunnews.com di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (19/11/2019). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Dalam posisi sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof Dr Mahfud MD SH, mendapat empat tugas khusus dari Presiden Jokowi yaitu penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM), dan deradikalisasi.

Persoalan yang masih hangat ketika Mahfud MD diangkat menjadi Menkopolhukam yaitu aksi anarkisme dan gerakan separatisme di Papua. Aksi di Papua bukan hanya membawa kerugian materiil, tetapi juga hilangnya puluhan nyawa manusia.

Baca: Idham Azis Tak Kunjung Umumkan Kabareskrim Baru, Mahfud MD: Kapolri Sudah Tahu Orangnya

Mohammad Mahfud MD baru saja menerima tamu empat anggota Parlemen Selandia Baru, Rabu (20/11), sebelum menemui tim Redaksi Tribun Network. Pada pertemuan dengan orang asing itu Mahfud membahas soal Papua dan komitmen Indonesia dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

"Pelanggaran HAM itu menyangkut tiga hal yaitu yang terjadi di masa lalu, baru terjadi, dan bagaimana meminimalisir kejadian di masa mendatang. Kalau bisa menghindari pelanggaran HAM di masa depan katanya. Berikut lanjutan wawancara eksklusif dengan Mahfud MD di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta.

Anda merupakan orang sipil pertama yang menjadi Menkopolhukam. Apa maknanya orang sipil mendapat amanah sebagai Menkopolhukam?
Begini, saya membayangkan pada masa lalu Menkopolhukam dianggap sebagai pusat pengendalian pertahanan dan keamanan. Sifatnya lebih militeristik, karena pada waktu itu kan situasinya belum begitu baik.

Sekarang sudah lebih demokratis, sehingga munculnya orang sipil seperti saya yang dipentingkan adalah bagaimana melaksanakan visi dan program pemerintah. Saya ini nembak saja tidak bisa..ha...ha..ha.

Dulu ada orang hebat‑hebat (yang menjabat Menkopolkam). Ada Pak Sudomo (Laksamana TNI Sudomo), Pak SBY (Jernderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono), Pak Agum (Jenderal TNI Agum Gumelar), wah hebat‑hebat.

Baca: POPULER: Cerita Mahfud MD Tak Diberitahu Jokowi Saat Pilih Prabowo jadi Menhan hingga Kaget

Saya bukan orang hebat, tapi saya dipercaya oleh Presiden Jokowi. Tentu Presiden tahu apa yang dibutuhkan dunia polhukam ini. Lalu saya diberi amanah.

Saat Anda diangkat sebagai Menkopolhukam, kontroversi mengenai Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berlangsung. Dalam konteks itu, apakah Anda dimintai pendapat atau memberikan saran kepada Presiden?
Tidak ada pesan khusus tentang itu. Pokoknya saya dininta meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Begitu pula soal undang‑undang terbaru (Undang-undang KPK), yang tengah menjadi kontroversial, tidak ada dipesankan kepada saya.

Sebelum diangkat menjadi menteri, saya sudah share (berbagi) pengalaman dan pendapat. Saya katakan ada kecenderungan orang menginginkan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait KPK.

Tapi kan Perppu bukan satu‑satunya jalan. Karena ada orang lain yang menolak Perppu. Oleh sebab itu, saya katakan ada pilihan berupa legislatif review (peninjauan kembali UU di parlemen) atau judicial review (uji materiil terhadap undang-undang di MK).

Baca: Jadi Staf Khusus Presiden, Putra Papua Ajak Jokowi Bangun Indonesia dari Bumi Cenderawasih

Saya sendiri berada dalam kelompok yang mengusulkan Perppu. Sekali lagi Perppu bukan satu‑satunya. Dalam hidup bernegara itu, kalau ada banyak pilihan kan' harus ada yang memutuskan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjawab pertanyaan saat wawancara khusus dengan Tribunnews.com di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (19/11/2019). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Sekarang Presiden sudah memutuskan tidak akan mengeluarkan Perppu, dalam konteks menunggu hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dari situ bisa dilihat nanti apakah perlu Perppu atau tidak.

Baca: Kunjungi Papua, Kepala BKKBN Tegaskan Tak Batasi Jumlah Anak

Atau mungkin pandangan masyarakat saat itu sudah bergeser, sudah berubah karena melihat perkembangan situasi. Kita lihat, tetapi intinya pemberantasan korupsi harus segera dikonsolidasikan agar lebih menguat.

Menurut Anda bagaimana peluang judicial review terkait Undang‑undang KPK?
Menurut saya 50‑50. Artinya peluang sama‑sama kuat. Kan selalu ada kejutan di Mahkamah Konstitusi.

Dulu waktu saya masih di MK, orang mengira tidak bakalan berani membongkar kasus sadapan pembicaraan rahasia para pejabat. Orang mengira saya takut, ternyata bikin kejutan.

Waktu saya membubarkan Badan Pengelola (BP) Migas, semua orang tidak percaya. Orang mengira MK tidak mungkin berani membubarkan, soalnya lembaga itu begitu kuat selama bertahun‑tahun.

Saya bubarkan juga bisa. Masih ada peluang 50‑50. Namun kalau saya disuruh memprediksi, MK akan mengabulkan sebagian permohonan. Kan ada 11 permohonan yang diajukan. Tidak semua dikabulkan. Kita lihat saja.

Terkait Papua apa prioritas Anda?
Saya baru berdiskusi dengan Pak Sutiyoso (Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/BIN Sutiyoso) soal Papua. Menurut Pak Sutiyoso, sebenarnya tidak sulit‑sulit amat menangani kelompok separatis di Papua.

Kelompoknya banyak, tapi setiap kelompok tidak lebih dari 30 orang. Masing-masing kelompok tidak mesti bisa menyatu. Pendekatan terhadap kelompok separatis itu adalah penegakan hukum. Yang separatisme itu kita lawan menggunakan penegakan hukum.

Sedangkan orang yang cuma ikut‑ikut kita kembalikan ke masyarakat. Kita lindungi mereka, kita bangun kembali keberanian mereka untuk menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia yang sah.

Baca: Soal Reuni Akbar 212, Klaim dapat Izin dari Anies Baswedan hingga Tanggapan Mahfud MD

Soal posisi Papua dalam bingkai NKRI sudah final, tidak bisa dikutak-katik lagi. PBB telah mengesahkan Pepepra (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Sudah final. Pepera itu tidak bisa diulang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini