Ratifikasi kovenan ini menurutnya mempertegas tanggung jawab negara sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal hak-hak ekosob.
"Tanggung jawab negara untuk memenuhi dan melindungi hak atas pekerjaan meliputi beberapa aspek sesuai dengan Komentar Umum Nomor 8, yaitu aspek ketersediaan, aspek aksesibilitas, dan aspek akseptabilitas," kata Beka.
Terlebih menurutnya, sebagai Anggota ILO sejak tahun 1950, Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO seperti Konvensi Nomor 88/1948 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja dan meratifikasi Konvensi Nomor 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Oleh karena itu, Beka menilai Indonesia harus patuh pada Konvensi-Konvensi ILO untuk memajukan kesempatan bagi siapapun untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat.
Selain itu menurut Beka, Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan.
Memurutnya, pernyataan WHO itu diamini oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993 yang juga menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
Selain itu menurutnya, pada 17 Oktober 2019, Indonesia terpilih menjadi Anggota Dewan HAM PBB untuk periode
2020-2022 sehingga mekanisme kerja yang dibangun oleh setiap lembaga negara termasuk Kejaksaan Agung
RI wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.
"Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Komnas HAM meminta klarifikasi dan pembatalan persyaratan tersebut dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kejaksaan Agung RI," kata Beka.