Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Masyarakat pengguna setia transportasi darat di era revolusi industri 4.0 akan disuguhkan kenyamanan, keamanan serta standar otomasi berskala internasional.
Setelah MRT rute Bundaran HI-Lebak Bulus beroperasi dan menjadi sahabat setia kaum urban, wajah transportasi darat pun terus bertransformasi.
Saat ini, moda transportasi lainnya yakni LRT Jabodebek mulai diujicoba.
Uji coba dilakukan dari Stasiun Harjamukti Depok menuju Ciracas.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro pun mencoba kenyamanan yang ditawarkan LRT Jabodebek ini.
Baca: Sarat TKDN, LRT Jabodebek Wajah Indonesia Maju?
Ia didampingi sejumlah pemimpin lembaga, termasuk diantaranya Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza.
Proyek LRT Jabodebek adalah 'proyek keroyokan' anak bangsa karena melibatkan sejumlah perusahaan plat merah serta lembaga pemerintahan.
Untuk pembangunan kereta LRT ini dipercayakan kepada PT INKA (Persero), sedangkan pembangunan rel menjadi tugas PT Adhi Karya (Persero).
Baca: Struktur Organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional Masih Dibicarakan dengan Kemenpan RB
Untuk operatornya dipegang PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero).
Sementara untuk sisi pengujian maupun audit teknologi, proyek ini terus dikawal BPPT.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan audit teknologi yang dilakukan BPPT bertujuan untuk memberikan garansi keamanan dan kenyamanan bagi para penumpang.
"Pengujian yang dilakukan oleh BPPT sebagai lembaga yang memberikan solusi, inovasi dan layanan teknologi dalam pengujian, mulai dari gerbong hingga sistem kendali, kemudian juga hingga AC dan getarannya (tidak membuat bising)," ujar Hammam, usai uji coba LRT Jabodebek di Stasiun Harjamukti, Depok, Jawa Barat, Kamis (28/11/2019).
Baca: Menristek: Start Up Lokal Dapat Mengurangi Ketergantungan Terhadap Produk Asing
Menurut dia, terlaksananya program LRT tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mampu membuat lompatan teknologi demi mengejar ketertinggalan dari negara lain yang juga memiliki produk serupa.
Melalui perekayasaan dan kliring teknologi, ia optimis Indonesia mampu menghadirkan sebuah sistem yang memenuhi standar internasional dalam pembangunan LRT.
Menyoroti perkembangan industri perkeretaapian di era revolusi industri 4.0, kliring teknologi diperlukan untuk membangun kemandirian dalam upaya mendorong kemajuan Indonesia yang berdaya saing, termasuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul.
"BPPT juga sedang melakukan kliring teknologi agar ke depannya tidak harus melakukan impor lagi, sehingga nantinya Indonesia mampu membangun SDM, talent unggul yang memang menguasai sistem kereta Api," kata Hammam.
Dalam proses ini, Hammam tidak memungkiri bahwa kerja sama diperlukan untuk penguasaan teknologi.
Sehingga kolaborasi dengan negara produsen teknologi lainnya seperti Tiongkok (China) dan Spanyol tentunya menjadi wahana pembelajaran.
"Tentunya juga proses kliring teknologi ini tidak luput dari kerja sama yang dilakukan dengan produsen teknologi dari beberapa negara seperti China, Spanyol," kata Hammam.
Perlu diketahui, Tiongkok pun sebelumnya telah melakukan hal yang sama pada industri perkeretaapian negaranya, khususnya proyek kereta cepat.
Hingga akhirnya, negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu mampu mandiri dan memproduksi keretanya sendiri, satu diantaranya kereta Maglev.
Awalnya, Negeri Tirai Bambu itu mengadopsi teknologi dari Prancis, dan akhirnya berhasil mengembangkannya.
Di Tiongkok, Maglev merupakan kereta api tercepat di dunia, jarak tempuhnya diperkirakan sekitar 380 km per jam.
Terkait pembangunan dalam proyek infrastruktur, pemerintah memang masih menjadikan program ini sebagai salah satu fokus dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.