TRIBUNNEWS.COM - Ketua Harian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kementerian Agama, Rosidin Karidi memberikan penjelasan terkait aturan sertifikasi halal di Indonesia.
Rosidin menyebutkan, dalam peraturan pemerintah, tak hanya makanan, barang-barang yang harus disertifikasi halal yakni barang-barang yang berasal atau mengandung unsur hewan.
Hal itu dilakukan untuk menjamin kehalalan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan barang tersebut.
Rosidin pun memberikan satu contoh barang yang perlu mendapakan sertifikasi halal.
"Salah satu contoh yang termuat dalam peraturan pemerintah adalah kacamata, kita tahu bahwa frame kaca mata kadang-kadang ada yang terbuat dari tulang."
"Maka dari itu ketika diindikasikan bahwa frame kacamata ada unsur hewannya maka itulah yang harus disertifikasi kehalalannya," papar Rosidin dilansir dari kanal YouTube tvOneNews, Rabu (27/11/2019).
Lebih lanjut, Wakil Menteri Agama Zainut Tuhid Saadi memaparkan alasan Menag mengharuskan sertifikasi halal pada barang.
Zainut memberikan contoh industri kulkas, ia menilai kulkas perlu dilakukan sertifikasi.
Sebab, pada pembuatan kulkas ada bagian yang terbuat dari tulang.
"Di kulkas itu ada bagian yang bisa saja terbuat dari tulang, nah tulang ini terbuat dari tulang apa, kalau tulang sapi, boleh, kalau tulang babi kan mengandung sesuatu yang haram," kata Zainut, masih dikutip dari sumber yang sama.
Upaya sertifikasi pada barang dilakukan Menag untuk menjamin kehalalan barang-barang dan pengguna barang merasa aman.
Sementara itu, para pemilik industri barang yang menggunakan bahan dari hewan memberikan tanggapan terkait sertifikasi halal.
Ketua Perkumpulan Perajin Kulit Bantul, Yogyakarta, Purwadi menyatakan setuju dengan kebijakan sertifikasi halal pada barang.
Selama ini kelompoknya menggunakan bahan untuk pembuatan sepatu dan tas dari kulit sapi dan domba.
Meskipun begitu, ia menyatakan, tidak keberatan dan siap mengikuti preaturan yang ditentukan pemerintah tersebut.
Purwadi berharap, Menag dapat memberikan sosialisasi tentang tata cara sertifikasi.
"Kami meminta MUI menjelaskan bahan yang halal atau haram itu bagaimana, dan bagaimana tata cara memperoleh sertifikasi," kata Purwadi, dikutip dari sumber yang sama.
Sejalan dengan Purwadi, pengusaha oleh-oleh asal Temanggung, Jawa Tengah, Arifin berharap Menag melakukan sosialisasi terkait sertifikasi halal dan mempermudah proses sertifikasi.
"Saya ingin menanyakan tentang proses pembuatan sertifikasi," kata Arifin.
Sementara itu, tanggapan dari pengusaha asal Semarang, Jawa Tengah, Bunga menyatakan, mengapresiasi langkah pemerintah dalam upaya melakukan sertifikasi halal pada sebuah produk.
Namun, ia khawatir, adanya keharusan sertifikasi ini malah menjadi celah oknum-oknum Kemenag untuk pungtan liar (pungli).
"Jangan sampai sertifikasi menjadi celah bagi oknum-oknum untuk melakukan pungli," ungkap Bunga.
Aturan Sertifikasi Halal
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 4, tentang Jaminan Produk Halal.
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2019, Pasal 68, tentang Jaminan Produk Halal.
Barang yang wajib bersertifikasi halal adalah sebagai berikut :
a. Makanan
b. Minuman
c. Obat
d. Kosmetik
e. Produk kimiawi
f. Produk biologi
g. Produk rekayasa genetik
h. Barang gunaan yang dipakai, digunakan, dan dimanfaatkan
(Tribunnews.com/Rica Agustina)