Kejadian tersebut dialami oleh Hersanti, yang melayani penerbangan Jakarta-Melbourne-Jakarta.
"Yang paling parah durinya itu seperti penerbangan PP itu lo," jelas Yosephine.
Yosephine menyatakan berdasarkan regulasi yang ada minumum awak kabin bekerja itu 14 jam, tapi kenyataannya bisa mencapai 18 jam.
"Tapi kenyataannya kita terbang itu nggak murni 14 jam karena kita kerja dimulai pada saat kita lapor di airport, 1,5 jam sebelum scedule itu kita sudah masuk dalam duty, nah jadi bisa lebih, belum lagi transit di luar negeri," ungkap Yosephine.
Lebih lanjut, Yosephine mengungkapkan adanya kebijakan jaminan uang terbang yang tidak adil antara junior, senior dan manajer.
Jaminan tersebut harusnya berlaku untuk awak kabin yang tengah sakit atau sedang discord.
Tapi menjadi tidak adil ketika kebijakan itu berlaku untuk manajer yang di struktural.
Bagi manajer yang duduk di struktural mereka bisa berkumpul bersama keluarga saat hari Sabtu dan Minggu.
Serta saat hari libur nasional mereka juga bisa mengambil libur untuk berkumpul bersama keluarga.
Namun, bagi awak kabin yang tidak duduk di struktural mereka tetap harus melayani penerbangan.
"Jadi di struktural itu double pembayaran, tunjangan jabatan dia dapat, tunjangan jaminan jam terbang dia dapat, padahal belum tentu sebulannya jam terbangnya sampai 60 jam," paparnya.
Terkait kebijakan tersebut sebenarnya resminya belum ada, namun sudah diimpplementasikan bulan Bovember lalu.
"Dan semua teman-teman kaget karena dari kita sendiri awak kabin tidak diberitahu berapa nominalnya," ungkapnya.
Yosephine mengungkapkan soal kebijakan tersebut hanya ada beberapa tim yang mensosialisasikan tetapi tidak jelas, hanya dalam bentuk powerpoint.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)