TRIBUNNEWS.COM - Ketua Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI), Zaenal Muttaqin mengungkap adanya sejumlah diskriminasi yang dilakukan Garuda Indonesia kepada pegawai.
Pengakuan tersebut disampaikan Zaenal Muttaqim dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (10/12/2019).
"Pada prinsipnya di perusahaan Garuda Indonesia ini memang banyak hal yang terjadi, beberapa peristiwa yang diskriminasi terhadap perlakuan pegawai itu sangat kental," jelas Zaenal Muttaqin.
Diskriminasi tersebut terjadi antara pegawai darat, pilot, dan awak kabin.
Zaenal Muttaqin mengungkapkan, perlakuan terhadap pegawai seringkali dibeda-bedakan.
"Jadi pada bagian lain, kadang-kadang budget kita awak kabin ini support kepada bagian yang lain, artinya ada darat, pilot, dan kabin," ujar Zaenal Muttaqin.
Diskriminasi tersebut misalnya dalam bentuk uang terbang serta penerbangan jarak jauh tanpa menginap.
Dengan menerapkan penerbangan jarak jauh tanpa menginap itu menghilangkan travel allowance awak kabin.
"Penerbangan jarak jauh dengan tidak menginap itu kan coast produksi nya kecil. Jadi menghilangkan travel allowance kita, menghilangkan biaya penginapan kita, menghilangkan biaya loundry kita, di-cut off tadi, jadi biaya-biaya yang harus kita terima hilang," ungkapnya.
Selain itu, juga ada diskriminasi yang sifatnya punishment.
Soal membawa barang berlebihan, jika hal tersebut dilakukan oleh pemegang bagian penting di Garuda Indonesia maka tidak akan dipermasalahkan.
"Misalkan pilot membawa barang legal berlebihan itu tidak masalah hanya membayar pinalti saja sudah," ujarnya.
Namun, saat awak kabin membawa barang berlebihan langsung dilaporkan ke pusat dan memperoleh punishment.
"Kita bekerja dalam perusahaan yang sama tapi perlakuan perusahaan pada kita berbeda," ujarnya.
Menurut Zaenal Muttaqin, dari dulu sampai sekarang ada semacam kekuatan tidak berbentuk yang mengendalikan organisasi di perusahaan Garuda Indonesia.
"Board of Directors (BOD) mau semacam apapun juga kalau orang-orang di bawah ini tidak dikendalikan itu sama hasilnya," ungkap Zaenal Muttaqin.
Zaenal Muttaqin menuturkan, kejadian soal diskriminasi ini sudah lama berhembus di Garuda Indonesia.
Nnamun diperparah setelah periode kepemimpinan eks Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara.
Reaksi Pramugari Senior Garuda saat Ari Askhara Dipecat
Pramugari Senior Garuda Indonesia, Yosephine Chrisan Ecclesia turut berkomentar terkait kepemimpian Ari Askhara sebagai Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia.
Sebelumnya diketahui, Ari Askhara telah dipecat oleh Menteri BUMN, Erick Thohir karena diduga menyelundupkan motor Harley davidson dan sepeda brimpton dalam Maskapai Garuda Indonesia GA 9721 Air Bus A300-900 Neo.
Tanggapan Yosephine disampaikan dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi yang kemudian diunggah oleh kanal YouTube Talk Show tvOne, Senin (9/12/2019).
Yosephine menuturkan, banyak awak kabin yang merasa lega setelah Ari Askhara dicopot dari jabatannya.
"Pencopotan ini kami awak kabin banyak merasa ya, rasanya duri yang tertanjam di dalam itu lepas akhirnya gitu," jelas Yosephine.
Wujud dari kelegaan tersebut, banyak dari teman-teman Yosephine yang melakukan syukuran atas dicopotnya Ari Askhara sebagai Dirut Garuda Indonesia.
"Setelah tahu itu, banyak teman-teman yang melakukan tumpengan, syukuran, ngundang anak yatim," ungkap Yosephine.
Yosephine mengungkapkan banyak kebijakan yang diterapkan oleh Ari Askhara yang menyulitkan awak kabin.
Seperti penerbangan Pulang Pergi (PP), pramugari harus bekerja selama 18 jam sehari.
Kejadian tersebut dialami oleh Hersanti, yang melayani penerbangan Jakarta-Melbourne-Jakarta.
"Yang paling parah durinya itu seperti penerbangan PP itu lo," jelas Yosephine.
Yosephine menyatakan berdasarkan regulasi yang ada minumum awak kabin bekerja itu 14 jam, tapi kenyataannya bisa mencapai 18 jam.
"Tapi kenyataannya kita terbang itu nggak murni 14 jam karena kita kerja dimulai pada saat kita lapor di airport, 1,5 jam sebelum scedule itu kita sudah masuk dalam duty, nah jadi bisa lebih, belum lagi transit di luar negeri," ungkap Yosephine.
Lebih lanjut, Yosephine mengungkapkan adanya kebijakan jaminan uang terbang yang tidak adil antara junior, senior dan manajer.
Jaminan tersebut harusnya berlaku untuk awak kabin yang tengah sakit atau sedang discord.
Tapi menjadi tidak adil ketika kebijakan itu berlaku untuk manajer yang di struktural.
Bagi manajer yang duduk di struktural mereka bisa berkumpul bersama keluarga saat hari Sabtu dan Minggu.
Serta saat hari libur nasional mereka juga bisa mengambil libur untuk berkumpul bersama keluarga.
Namun, bagi awak kabin yang tidak duduk di struktural mereka tetap harus melayani penerbangan.
"Jadi di struktural itu double pembayaran, tunjangan jabatan dia dapat, tunjangan jaminan jam terbang dia dapat, padahal belum tentu sebulannya jam terbangnya sampai 60 jam," paparnya.
Terkait kebijakan tersebut sebenarnya resminya belum ada, namun sudah diimpplementasikan bulan Bovember lalu.
"Dan semua teman-teman kaget karena dari kita sendiri awak kabin tidak diberitahu berapa nominalnya," ungkapnya.
Yosephine mengungkapkan soal kebijakan tersebut hanya ada beberapa tim yang mensosialisasikan tetapi tidak jelas, hanya dalam bentuk powerpoint.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)