News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU KPK

Laode M Syarif: Seharusnya yang Direvisi Undang-Undang Tipikor, Bukan Undang-Undang KPK

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif memberikan keterangan pers terkait pengesahan revisi undang-undang KPK di gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Laode M. Syarif mengatakan ingin mengetahui model pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas KPK sebagaimana tercantum dalam revisi Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan sejatinya yang direvisi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukan Undang-Undang KPK.

Alasannya menurut dia, UU Tipikor saat ini tidak membuat jera para koruptor.

Dalam UU Tipikor, hukuman denda yang dijerat kepada para koruptor maksimal Rp 1 miliar.

Menurut dia, denda tersebut sangat kecil bagi para koruptor.

Baca: Lewat Undang-Undang Baru KPK, Firli Cs Diminta Tancap Gas Benahi Internal KPK

"Kalau Rp 1 miliar untuk perusahaan besar, ya kacang (kecil) itu. Jadi kalau mau benar, hukuman badan maksimum 10 tahun misalnya, tetapi dendanya Rp 100 miliar. Itu lebih pas," kata Syarif di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

Syarif membeberkan beberapa kasus yang ditangani lembaga antirasuah.

Menurutnya, dari beberapa pengadaan dan proyek pemerintah yang dilaksanakan perusahaan baik swasta maupun BUMN, aliran dana yang menjadi bancakan mencapai 25 persen.

Baca: PKS: Pak Jokowi Itu Keliru, Hukuman Mati Tak Bisa Berdasar Kehendak Rakyat, Tapi UU Tipikor

"Selama saya di KPK, memang khususnya yang sering saya lihat khususnya yang tertangkap tangan, kami melihat catatan itu 10 sampai 15 persen (uang dikorupsi)."

"Kami pernah melihat sampai 25 persen, untuk internal pemerintah 10 persen, mengamankan aparat penegak hukum 10 persen, untuk mengamankan auditor 5 persen, jadi tinggal 75 persen yang dipakai untuk membangun," kata Syarif.

Syarif kemudian kembali membahas soal revisi UU KPK.

Baca: Mahfud MD Sebut Akan Ada Kejutan Terkait Nama-nama Dewan Pengawas KPK

Terhambatnya investasi di Indonesia menjadi salah satu alasan pemerintah dan DPR merevisi UU nomor 30 tahun 2002.

Menurut Syarif, alasan tersebut tak masuk akal.

"Apa yang mennghalangi investasi di Indonesia? Ya nomor satu itu korupsi. Mengapa mereka (investor) tidak mau datang ke Indonesia? makanya men-dismantle anti-corruption agency seperti KPK itu tidak sesuai dengan logika sebenarnya," kata Syarif.

Korupsi hambat investasi

Proses revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjalan kilat hingga kini masih jadi pertanyaan.

Bahkan, tiga pimpinan KPK kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU KPK yang baru lantaran proses revisinya dinilai tidak sesuai dengan prosedur.

Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, dasar revisi yang dilakukan pemerintah dan DPR ialah lantaran terhambatnya investasi di Indonesia.

Pembahasan revisi UU KPK, katanya, berjalan kilat dengan dalih agar seluruh investasi yang datang dapat berjalan dengan baik.

Baca: PDIP, PKS, dan PKB Tegaskan Komitmennya Tidak Akan Calonkan Mantan Narapidana Korupsi dalam Pilkada

"Bapak Ibu yang hidup di Indonesia pasti mengetahui tiba-tiba dalam waktu 13 hari kemudian UU KPK yang baru dibuat. Salah satu isu penting dalam keluarnya UU itu ada isu ternyata menghambat adanya investasi," kata Agus Rahardjo di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

Agus menegaskan bahwa sejauh ini KPK sudah berada di jalan yang benar.

Menurutnya, justru tindakan koruptif yang menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia.

"Korupsi menghambat investasi asing karena menciptakan lingkungan bisnis yang berisiko tinggi dan tidak dapat diprediksi (secara finansial dan reputasi) serta korupsi menghambat kompetisi sehat karena menghalangi pemain baru untuk masuk dalam pasar sehingga dapat menurunkan insentif untuk berinovasi," kata Agus.

Baca: KPK Hargai Putusan MK soal Jeda 5 Tahun Mantan Terpidana Koruptor Maju Pilkada

Menurut Agus, seharusnya pemerintah mengedepankan upaya perbaikan KPK untuk menekan tindakan koruptif.

Bukan dengan mengeluarkan revisi UU KPK yang justru melemahkan kerja KPK.

"Sudah seharusnya Indonesia memperhatikan dampak korupsi terhadap pembangunan di negeri ini dan bertindak secara kolektif untuk memerangi korupsi sebagai bagian penting dari agenda pertumbuhan yang lebih luas," kata Agus.

Agus berharap menjadi sarana bagi KPK untuk melakukan perbaikan.

Salah satunya meminta masukan sejumlah pihak untuk diperbaiki KPK ke depannya.

Baca: Gibran Maju di Pilkada Solo, Politisi PAN Angkat Bicara

"Ini yang nanti saya harapkan saran dari pertemuan ini silakan datang dari para ahli yang datang untuk memberikan masukan yang kita gunakan sebagai landasan untuk mengindikasi reformasi apa yang harus dilakukan," kata Agus.

Revisi UU KPK sudah disahkan sejak 17 Oktober 2019. Revisi UU KPK tercatat dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Meski sudah disahkan, revisi UU KPK terus mendapat penolakan kritik dari sejumlah tokoh masyarakat. 
Bahkan sejumlah mahasiswa di berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan KPK.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini