TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat melontarkan wacana hukuman mati bagi para koruptor, terutama koruptor dana bencana alam.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengimbau agar seluruh pihak tak terjebak dalam retorika.
Baca: Jokowi Berikan Grasi dan Hukuman Mati, Ini Kata Ketua Baleg DPR
"Kalau kita hanya bicara bagaimana kita menghukum, menghukum maksimal, kita masih terjebak retorika terhadap hal-hal yang sifatnya menarik mata, menarik perhatian, gimmick," ujar Saut, dalam diskusi 'Koruptor Dihukum Mati, Retorika Jokowi?', di Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/12/2019).
Saut mengatakan negara lain yang lebih sustain indeks persepsi korupsinya justru tak lagi membahas hukuman mati.
Namun mereka menekankan atau menjatuhkan hukuman kepada korupsi hal-hal sederhana. Contohnya, kata dia, supir truk yang menyogok supir forklift di pelabuhan.
Perihal hukuman maksimal juga disebutnya harus diperdebatkan terlebih dahulu oleh pimpinan, penyidik hingga jaksa penuntut umum.
Karena, Saut menilai faktor penyesalan, pengakuan terhadap perbuatan, atau mengajukan justice collaboration juga harus dipertimbangkan.
"Kalau mau bicara soal korupsi itu kita harus sustain sesuai Pancasila. Misalnya memberikan remisi kan bisa saja dengan alasan kemanusiaan. Jadi perlu melihat ini secara komprehensif," kata dia.
Saut menegaskan semua pihak selain KPK harus turut bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi.
Ia mengajak agar semua pihak duduk bersama agar tak membahas pemberantasan korupsi secara sepotong-potong.
"Kita harus konsisten dari hal kecil, seperti misalnya kita tidak melanggar lampu merah (lampu lalu lintas). Banyak sisi lain yang harus kita bereskan, hukuman mati ini baru hanya bagian kecil aja. Kita jangan terjebak di retorika seperti ini," pungkas Saut.