TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Huda, berharap ada pengawasan dalam program pengganti ujian nasional (UN) 202, mendatang.
Menurutnya, pengawasan tersebut harus dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, maupun anggota dewan.
"Semua publik, masyarakat, pemerintah, kami di legislatif, bertugas melakukan pengawasan itu," ujar Syaiful Huda di Studio Trans 7, Rabu (18/12/2019), dikutip dari kanal YouTube Najwa Shihab.
Syaiful Huda mengatakan, semua elemen tersebut harus terlibat dalam perubahan sistem pendidikan di Indonesia.
"Tapi poin ini harus ada perubahan di tengah stagnasi berpuluh-puluh tahun ini," jelasnya.
Sehingga, menurutnya, jika semua terlibat dalam pengawasan, tak ada lagi siswa yang dikorbankan karena buruknya sistem pendidikan.
"Jangan lagi dikorbankan anak-anak kita untuk masa depannya," ungkap Syaiful.
Ia berharap tak ada lagi anak didik yang menjadi korban, akibat kebijakan pemerintah yang ingin adanya penyeragaman, seperti pelaksanaan ujian nasional.
"Hanya gara-gara dengan cara pandang, penyeragaman menyelesaikan semua hal," ujarnya.
"Ini sudah yang harus kita tinggalkan cara pandang standarisasi, sudah lama, sudah lewat," jelas Syaiful Huda.
Selain itu, Syaiful Huda juga setuju dengan penggantian pelaksanaan ujian nasional pada 2021.
Syaiful Huda menyebut penggantian pelaksanaan ujian nasional tersebut sebagai terobosan yang dilakukan Kemendikbud.
Ia juga mengatakan, kebijakan tersebut merupakan sebuah perubahan baru dalam sistem pendidikan Indonesia.
"Kita butuh terobosan dan perubahan bagi dunia pendidikan kita," ujar Syaiful Huda.
Syaiful berujar, tidak bisa lagi masyarakat dan pemerintah menunggu terciptanya perubahan tersebut.
"Jangan nunggu, kita enggak bisa nunggu, ini catatan kami juga di komisi X dan bagian kompromi kami dengan Kemendikbud," ungkapnya.
Sehingga, Syaiful ingin perubahan tersebut segera dilakukan oleh Kemendikbud, tanpa harus menunggu sarana dan prasarana pendukung proses pendidikan rampung.
"Pemerintah dan kami semua tidak bisa menunggu sarana dan prasara selesai," ujarnya.
Ia juga ingin peningkatan kualitas dan kompetensi guru segera dilakukan.
"Kualitas dan kompetensi guru harus secepatnya diselesaikan," katanya.
"Pemerataan akses sekolah, distribusi guru, dan seterusnya harus diselesaikan," lanjut Syaiful.
Ia berharap Kemendikbud bisa mulai menerapkan kebijakan barunya itu.
"Tapi agenda perubahan ini harus tetep jalan, sambil kita cicil dari tahun ke tahun," imbuhnya.
"Tanpa itu, kita akan mengorbankan anak-anak didik kita," jelas Syaiful Huda.
Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Dikdasmen Kemendikbud, Totok Suprayitno menyampaikan, proses sistem zonasi ada 50 persen pada penerimaan siswa baru.
Sisanya yaitu sebesar 20 persen, penerimaan siswa baru berasal dari siswa yang menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP).
"Terutama melalui proses zonasi, nanti ada 50 persen penerimaan siswa itu berdasarkan zonanya," ujar Totok Suprayitno.
"Sisanya, anak-anak yang mendapat Kartu Indonesia Pintar, yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung," jelasnya.
Sementara, untuk 30 persen proses penerimaan siswa baru, menurutnya berasal dari prestasi siswa.
"Kemudian, maksimum sampai 30 persen, itu anak-anak yang berprestasi," lanjutnya.
Sehingga, menurutnya, ketentuan proses penerimaan siswa baru tersebut akan segera diterapkan.
"Jadi sudah ada perubahan," ungkap Totok.
Mengenai penggantian ujian nasional, Totok berujar nantinya sekolah dalam meluluskan siswanya tidak hanya berdasarkan pada nilai.
"Jadi yang diberikan oleh sekolah untuk meluluskan anak-anak tidak hanya nilai," katanya.
Menurut Totok, sekolah bisa meluluskan peserta didik berdasarkan pada kemampuannya.
Kemampuan yang ia maksud, bisa dari kemampuan olahraga maupun kesenian.
Sehingga kemampuan tersebut akan masuk dalam portofolio siswa yang bisa digunakan untuk mendaftar sekolah.
"Tetapi bisa portofolio siswa, kemampuan spesifik siswa; jago olahraga, jago nari, jago melukis, jago mengukir. Itu masuk portofolio siswa," jelasnya.
"Sehingga ada pertimbangan untuk memasukan, jadi tidak hanya dari tes tertulis saja," lanjut Totok.
Ia menyebut kemampuan siswa tersebut perlu dihargai oleh pihak sekolah.
"Sehingga pengenalan tidak hanya kemampuan kognitif, tapi juga kemampuan-kemampuan yang lain ingin dihargai, pada prinsipnya itu sebenarnya," ungkapnya.
Totok berujar, kebijakan dari Kemendikbud itu bisa untuk mempertimbangkan kemampuan siswa dalam setiap proses penerimaan peserta didik baru.
"Ingin mengedepankan bahwa seluruh kemampuan siswa itu harus menjadi pertimbangan di dalam penerimaan siswa," imbuhnya.
Namun, Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Anindito Aditomo mengimbau Kemendikbud tak membuat kesalahan sama dalam program pengganti ujian nasional.
Anindito tak ingin program tersebut akan sama saja seperti ujian nasional versi dua.
"Saya ada catatan kritis untuk Kemendikbud, intinya jangan sampai mengulang kesalahan yang sama, membuat ujian nasional 2.0," kata Anindito Aditomo.
Ia menyebut program pengganti pelaksanaan ujian nasional tersebut sudah bagus.
Menurutnya, program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut sudah formatif.
"Arahnya sudah bagus sekali, membuatnya formatif, dan seterusnya," jelasnya.
Namun, ia tak ingin pelaksanaan program baru Kemendikbud itu menjadi potensi kesalahan ujian nasioanl yang terulang.
"Tetapi ini menjadi potensi ujian nasional versi dua saja," ungkap Anindito.
Ia berujar, jika program tersebut diterapkan pada semua sekolah dan siswa, sehingga akan terlihat kualitas sekolah saat dilakukan survei.
"Misalnya nanti dilakukan pada semua sekolah dan siswa, jadi ada data sensus, sehingga dinas akan tahu sekolah yang nilainya tinggi dan rendah," katanya.
Menurutnya, ketika survei tersebut dilakukan, maka hasilnya akan terlihat mana sekolah yang bagus ataupun tidak.
"Akan ada pelabelan lagi sekolah yang bagus, sekolah yang jelek," ungkapnya.
"Ini akan memberi tekanan pada guru dan siswa, untuk ujian nasional sekarang," lanjut Anindito.
(Tribunnews.com/Nuryanti)